MEREKONSTRUKSI MODEL STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA KOMPROMITIF MADURA-JAWA UNTUK REFERENSI PENDIDIKAN ETIKA LINTAS KULTUR
View/ Open
Date
2013-07-09Author
Mujiman Rus Andianto
Arief Rijadi
Annur Rofiq
Metadata
Show full item recordAbstract
MEREKONSTRUKSI MODEL STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA KOMPROMITIF MADURA-JAWA UNTUK REFERENSI PENDIDIKAN ETIKA LINTAS KULTUR; Oleh: Mujiman Rus Andianto, Arief Rijadi, dan Annur Rofiq
Sebagian besar wilayah kabupaten Jember, Lumajang, Probolinggo, Bondowoso, dan Situbondo didiami oleh masyarakat etnik Madura. Selain itu, diam juga komunitas-komunitas etnik Jawa. Di dalam kantong-kantong komunitas Madura diam minoritas etnik Jawa dan demikian sebaliknya. Sekolah-sekolah dasar dan menengah yang berada di daerah tersebut banyak diisi guru yang berlatar kultur Jawa. Dengan demikian, komunikasi/interaksi pendidikan antara murid, wali murid, dan warga masyarakat dengan guru dan atau warga masyarakat lainnya yang berlatar kultur Jawa terjadi dalam situasi lintas kultur. Dengan demikian, dalam keseharian, baik di perkampungan, pasar, perkantoran, maupun dalam momen-momen tertentu, kedua etnik ini selalu berkomunikasi. Karena tidak semua warga komunitas itu saling menguasai kedua bahasa etnik tersebut, komunikasi biasa menggunakan bahasa Indonesia yang terinterferensi oleh bahasa dan budaya (kultur) masing-masing. Disadari atau tidak, dalam komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia seperti itu muncul ekspresi-ekspresi norma-norma kesantunan masing-masing yang juga tidak selalu saling dipahami kedua belah pihak, sehingga biasa terjadi konflik psikologis. Sejauh ini belum ada media dan atau sumber pembelajaran pemahaman kesantunan yang bisa diterima kedua etnik tersebut.
Untuk itu, diperlukan sarana untuk menciptakan suasana saling menyadari, memahami, menghormati, dan merealisasikan kesantunan berbahasa dalam komunikasi mereka. Penelitian ini berfokus pada masalah dan tujuan merekonstruksi model-model strategi kesantunan berbahasa kompromitif lintas kultur Madura-Jawa untuk referensi pendidikan etika lintas kultur. Berlandaskan teori-teori seputar masalah kesantunan, yakni kesantunan berbahasa, tindak tutur, etnografi komunikasi, dan pragmatik, serta menggunakan rancangan deskriptif kualitatif dan pendekatan etnometodologis, penelitian ini mengambil data berupa segmen-segmen tutur beserta konteks yang menyertainya serta berbagai informasi kultural dari masing-masing dua etnik tersebut yang berkenaan dengan masalah kesantunan. Data diambil dari sumbernya, yakni peristiwa interaksi verbal inter dan antar kedua belah pihak, dengan menggunakan teknik perekaman, pengamatan, dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan mengikuti model alir dari Miles dan Huberman, yang dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Dalam prosesnya, analisis data meliputi pereduksian, penyajian, pengecekan, pengkategorian, dan penginterpretasian.
Hasil penelitian menunjukkan hal-hal berikut. Dalam kultur Madura dan Jawa, kesantunan berbahasa pada dasarnya bersunber dari norma-norma kesantunan, yang terumuskan secara singkat pada pepali-pepali. Pepali-pepali itu berisi larangan, anjuran, usulan, perintah dan atau pertanyaan-pertanyaan, baik yang berupa peribahasa, petuah-prtuah, nasihat, maupun tuturan (teguran) langsung. Prinsip-prinsip dan atau maksim-maksim yang mendasari diekspresikannya kesantunan dalam bertindak tutur serta strategi yang digunakan untuk mengimplementasikannya dalam praktik komunikasi, baik dalam kultur Madura maupun Jawa adalah pendisiplinan, penguntungan, perlindungan, pembebasan, dan cara penuturan. Sementara itu, strategi yang digunakan juga berkisar pada strategi formal, kontekstual, dan tindak tutur tidak langsung.
Model-model strategi kesantunan berbahasa dalam kultur Madura yang berhasil direkonstruksikan adalah model pendisiplinan-formal, model pendisiplinan-kontekstual-formal, model pendisiplinan-kontekstual, model pendisiplinan-tindak tutur tidak langsung, model penguntungan-formal, model penguntungan-kontekstual, model penguntungan-tindak tutur tidak langsung, model perlindungan-formal, model perlindungan-tindak tutur tidak langsung, model pembebasan-kontekstual, dan model cara penuturan-tindak tutur tidak langsung. Model yang paling banyak terealisasi dalam peristiwa tutur adalah model cara penuturan-tindak tutur tidak langsung. Selanjutnya, berturut-turut: model penguntungan-kontekstual; model penguntungan-tindak tutur tidak langsung; model penguntungan-formal dan model pendisiplinan-formal; model pendisiplinan-tindak tutur tidak langsung, model perlindungan-formal, dan model perlindungan-tindak tutur tidak langsung; dan terakhir model pendisiplinan-kontekstual, model pendisiplinan-formal-kontekstual, dan model pembebasan-kontekstual.
Sementara itu, dalam kultur Jawa, dalam terminologi lokal, kritikan yang disebut alok-alok dan ajakan (ajak-ajak), masing-masing menjadi maksim ketidaksantunan dan maksim kesantunan. Baik alok-alok maupun ajak-ajak terbangun dari filosofi-filosofi tentang hidup bermasyarakat, yang pada umumnya terkonstruksikan dalam bentuk unen-unen (ungkapan). Secara pragmatis, kesantunan-kesantunan berbahasa yang diekspresikan berdasarkan atas prinsip-prinsip dan terimplementasikan dengan strategi-strategi tadi. Model-model strategi yang dapat direkonstruksikan dapat dibedakan atas model-model: trep-basa (pendisiplinan-formal), trep-trap (pendisiplinan-kontekstual), trep-semu (pendisiplinan-tindak tutur tidak langsung), ngreken-basa (penguntungan-formal), ngreken-trap (penguntungan-kontekstual), ngreken-semu (penguntungan-tindak tutu tidak langsung), njaga-basa (perlindungan formal), njaga-semu (perlindungan-tindak tutur-tutur tidak langsung), tanameksa-semu (pembebasan-tindak tutur tidak langsung), dan cara-semu (cara penuturan-tindak tutur tidak langsung). Model yang paling banyak terealisasi dalam peristiwa tutur sehari-hari adalah model ngreken-trap. Selanjutnya, berturut-turut: model njaga-basa, model trep-basa, model cara-semu, dan terakhir dengan persentasi sama: model trep-trap, model trep-semu, model ngreken-semu, model ngreken-basa, model njaga-semu, dan model tanameksa-semu.
Semua hasil rekonstruksi model-model strategi kesantunan berbahasa itu, baik dalam kultur Madura maupun kultur Jawa masih bersifat rekonstruksi awal. Masih diperlukan anggulasi-anggulasi lebih lanjut dengan melibatkan para pakar pragmatik, antropologi, sosiologi, hukum adat, sastra tradisional, folklor/tradisi lisan, dan pendidikan yang banyak mengkaji tentang kebudayaan Madura dan Jawa.
6.2 Saran
Dalam merekonstruksikan model-model strategi kesantunan berbahasa dalam kultur Madura, penelitian ini masih mengahadapi kesulitan dalam melacak data dan informasi yang terkait dan sangat penting sebagai bahan analisis lebih mendalam untuk diperoleh hasil rekonstruksi yang representatif secara maksimal. Hal itu terjadi karena banyak hal; di antaranya adalah keterbatasan waktu dan pengkaji (sumber daya peneliti) yang ulet, tangguh, dan profesional. Sementara itu, masalah model strategi kesantunan berbahasa ini sangat urgen dalam pemanfaatannya untuk merekonstruksi model lintas kultur. Untuk itu, sangat diperlukan untuk dilakukan penelitian lanjutan disertai workshop yang lebih serius, cukup waktu, dana, dan peneliti yang memadai.
Kata Kunci: model-model, kesantunan berbahasa kompromitif lintas kultur, Madura-Jawa