dc.description.abstract | Gangguan pendengaran pada masa bayi dapat menyebabkan gangguan
bicara, berbahasa, kognitif, masalah sosial, dan emosional sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup seseorang. American Speech-Language-Hearing
Association pada 2015 menyatakan gangguan pendengaran pada bayi dapat
menyebabkan bayi tersebut mengalami speech and language delay seiring
bertambahnya usia sehingga tidak mampu berkomunikasi dengan baik. The Joint
Committee of Infants Hearing (JCIH) tahun 2007 menyatakan asfiksia
neonatorum sebagai salah satu faktor risiko gangguan pendengaran pada neonatus.
Hipoksia pada bayi dengan kondisi asfiksia dapat menyebabkan kerusakan pada
outer hair cell (OHC) dan edema stria vaskularis sehingga mengganggu fungsi
koklea. Kerusakan outer hair cell dapat dinilai dengan pemeriksaan Otoacoustic
Emission (OAE) dan direkomendasikan dilakukan pada seluruh neonatus dengan
atau tanpa faktor risiko. JCIH merekomendasikan screening pendengaran
neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan
sebelum usia 6 bulan. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan kejadian
asfiksia neonatorum dengan gangguan fungsi koklea pada neonatus menggunakan
pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE).
Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional
dengan metode cross sectional yang dilakukan di RSD dr. Soebandi Jember dan
RSU Kaliwates Jember. Sampel penelitian adalah neonatus di Ruang Perinatologi
RSD dr. Soebandi Jember dan RSU Kaliwates Jember yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi dengan metode consecutive sampling. Penelitian dilakukan
pada 29 November 2019 hingga 8 Januari 2020. Analisis data yang digunakan
adalah Chi-square dengan interval kepercayaan 95%.
Penelitian ini diikuti oleh 16 neonatus sebagai sampel penelitian dengan
rincian 8 neonatus tidak memiliki riwayat asfiksia neonatorum dan 8 neonatus
lainnya memiliki riwayat asfiksia neonatorum derajat sedang (skor Apgar 4-7).
Hasil penelitian menunjukkan sejumlah 5 (62,5%) neonatus dengan riwayat
asfiksia neonatorum tidak memiliki gangguan fungsi koklea, sedangkan 6 (75%)
neonatus tanpa riwayat asfiksia neonatorum memiliki gangguan fungsi koklea.
Hasil analisis menggunakan uji Chi-square menunjukkan kejadian asfiksia
neonatorum derajat sedang tidak berhubungan dengan gangguan fungsi koklea
pada neonatus. Hasil analisis faktor lain yaitu jenis kelamin (p=0,280) dan jenis
persalinan (p=0,288) juga menunjukkan tidak terdapat hubungan dengan
gangguan fungsi koklea, namun hasil berbeda ditunjukkan pada hasil analisis
Berat Badan Lahir (BBL) yang menunjukkan terdapat hubungan dengan
gangguan fungsi koklea (p=0,049). Kejadian asfiksia derajat sedang tidak
berhubungan dengan gangguan fungsi koklea disebabkan oleh tingkat kerusakan OHC sangat dipengaruhi lama dan derajat asfiksia dimana selama periode
penelitian tidak ditemukan neonatus dengan riwayat asfiksia derajat berat.
Hubungan yang signifikan antara BBL neonatus dengan gangguan fungsi koklea
sesuai dengan fakta bahwa neonatus dengan BBLR cenderung mengalami asfiksia
neonatorum karena kurangnya oksigenasi sel, retensi karbon dioksida berlebih,
dan asidosis metabolik. | en_US |