Perjuangan Kesetaraan Gender pada Aspek Pendidikan dalam Novel Kenanga Karya Oka Rusmini: Pendekatan Kritik Sastra Feminis
Abstract
Penelitian mengenai bentuk ketidakadilan gender dan perjuangan kesetaraan gender pada perempuan khususnya dalam aspek pendidikan cukup menarik bagi khalayak umum, khususnya bagi sastrawan. Ketidakadilan gender yang menimpa perempuan disebabkan adanya persepsi atau pandangan masyarakat yang menganut budaya patriarki, sehingga menempatkan laki-laki sebagai pihak yang berkuasa, pihak yang dominan, serta menempatkan perempuan sebagai pihak kedua yang sering diabaikan keberadaannya. Peran perempuan lebih dibatasi ketika perempuan ingin menunjukkan eksistensi dirinya dihadapan publik. Perempuan akan dipandang negatif bila berhasil menunjukkan eksistensi dirinya di hadapan publik karena dianggap sebagai bentuk perlawanan oleh masyarakat patriarki.
Novel Kenanga merupakan novel karya Oka Rusmini yang mengangkat seputar ketidakadilan gender terhadap perempuan. Novel Kenanga menceritakan beberapa tokoh perempuan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang menimpa kehidupan mereka yang tidak pernah terlepas dari adat dan tradisi budaya Bali yang mengharuskan mereka untuk hidup di bawah kekuasaan laki-laki. Oka Rusmini menghadirkan beberapa permasalahan yang terjadi dalam kehidupan tokoh perempuan yang tidak terlepas dari budaya Bali, salah satunya permasalahan pendidikan. Dalam novel Kenanga menceritakan perjuangan kesetaraan gender antara tokoh perempuan dan laki-laki. Salah satu tokoh yaitu tokoh Kenanga yang dihadirkan oleh Oka Rusmini di mana tokoh Kenanga tersebut dengan berani melawan adat dan tradisi budaya Bali. Tokoh kenanga membuktikan bahwa tidak selamanya perempuan harus di bawah kekuasaan laki-laki serta ingin menyetarakan dengan tidak membeda-bedakan peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan. Tokoh Kenanga berani membuat spekulasi bahwa perempuan yang berpendidikan bisa hidup melajang seperti Kenanga. Selain tokoh Kenanga, terdapat pula tokoh perempuan lain yang memperjuangkan hak pendidikannya, yaitu Luh Intan dan Kemuning. Luh Intan dapat membuktikan bahwa perempuan sudra yang diremehkan seperti dirinya dapat menempuh pendidikan tinggi dan lolos tes Sipenmaru. Sedangkan tokoh Kemuning, dia berusaha memperjuangkan hak pendidikannya, namun tidak berhasil karena memutuskan menikah dengan laki-laki brahmana.
Ketidakadilan gender dan perjuangan kesetaraan gender khususnya pada aspek pendidikan dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini dapat dianalisis menggunakan linguistik fungsional Halliday melalui pendekatan kritik sastra feminis teori Wiyatmi untuk menguraikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender dan perjuangan kesetaraan gender pada tokoh perempuan dalam aspek pendidikan. Data dalam penelitian ini berupa klausa yang mengandung ketidakadilan gender dan perjuangan kesetaraan gender melalui tiga tokoh perempuan, yaitu Kenanga, Luh Intan, dan Kemuning. Tahapan dalam penelitian ini ditempuh melalui tiga tahapan, yaitu: 1) reduksi data, 2) analisis data, dan 3) penyimpulan data. Tahapan pertama adalah reduksi data, yaitu menyeleksi informasi-informasi yang berupa klausa yang mengandung ketidakadilan gender dan perjuangan kesetaraan gender pada aspek pendidikan melalui tokoh Kenanga, Luh Intan, dan Kemuning. Tahapan kedua, menganalisis data menggunakan analisis transitivity klausa kompleks logiko-semantik Linguistik Fungsional dan Proses. Klausa dianalisis hubungan taktik dan logiko-semantik untuk mengetahui hubungan antar makna. Langkah berikutnya yaitu mengidentifikasi Proses dalam tiap klausa, baik klausa simpleks maupun klausa kompleks. Tahapan ketiga, menguraikan bentuk ketidakadilan gender dan perjuangan kesetaraan gender yang dialami tiga tokoh perempuan, yaitu Kenanga, Luh Intan, dan Kemuning pada aspek pendidikan dalam novel Kenanga sesuai dengan teori feminisme Wollstonecraft melalui pendekatan kritik sastra feminis.
Bentuk ketidakadilan gender pada aspek pendidikan yang ditemukan dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini berupa kekerasan yang dialami tokoh Kemuning, yaitu mendapat perlakuan kasar berupa fisik dan psikis dari suami. Bentuk subordinasi yang dialami tokoh Luh Intan dan Kenanga, yaitu menempatkan Luh Intan pada posisi yang tidak begitu penting karena dianggap perempuan sudra, sedangkan Kenanga dianggap sebagai perempuan yang tidak penting karena memiliki pendidikan yang lebih rendah daripada tokoh Bhuana. Bentuk stereotype yang juga dialami oleh tokoh Kenanga dan Luh Intan, yaitu mendapat pelabelan negatif apabila perempuan berani mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki, bahkan perempuan sudra seperti Luh Intan.
Bentuk perjuangan kesetaraan gender yang dialami tiga tokoh perempuan pada aspek pendidikan mengalami keberhasilan pada tokoh Luh Intan dan Kenanga, sedangkan ketidakberhasilan terjadi pada tokoh Kemuning dikarenakan ada beberapa alasan yang mebuat tokoh Kemuning tidak berani dalam mengusung feminisme yang pada akhirnya berujung pada ketidakadilan gender yang memicu lahirnya kekerasan. Pada tokoh Kenanga berhasil mengusung gerakan feminisme yang menekankan bahwa pendidikan untuk kaum perempuan itu penting. Perempuan seperti Kenanga berani memutuskan melajang dan melawan adat dengan argumen bahwa perempuan dapat hidup mandiri tanpa hadirnya laki-laki. Begitu juga dengan Luh Intan, perempuan sudra seperti Luh Intan membuktikan bahwa perempaun sudra juga berhak atas pendidikan, agar tidak dianggap remeh oleh kaum laki-laki dan meninggikan derajat kaum perempuan.
Kesimpulan yang berkaitan dengan ketidakadilan gender dan perjuangan kesetaraan gender pada aspek pendidikan dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini, yaitu teori Linguistik Fungsional dan teori feminisme Mery Wollstonecraft relevan digunakan untuk melihat bentuk ketidakadilan gender dan perjuangan tokoh perempuan pada aspek pendidikan. Pendekatan kritik sastra feminis yang menggunakan Linguistik Fungsional dapat digunakan sebagai pisau bedah dalam menemukan ketidakadilan gender dan perjuangan kesetaraan gender dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini. Melalui tiga tokoh perempuan dalam novel Kenanga, yaitu Kenanga, Luh Intan, dan Kemuning, pengarang menyampaikan secara tersirat bahwa pendidikan untuk kaum perempuan itu penting. Tokoh Luh Intan sebagai bentuk keberpihakan terhadap perjuangan kesetaraan gender pada aspek pendidikan, sebab Luh Intan memiliki tekad dan kegigihan yang kuat dalam memperoleh hak pendidikannya meskipun berasal dari kasta terendah dalam hierarki sosial di Bali.
Collections
- MT-Linguistic [65]