MENJADI SANG HIBRID: Hibriditas Budaya dalam Masyarakat Lokal
Abstract
Penelitian ini difokuskan pada pengumpulan dan analsis data-data lapangan/etnografis tentang hibriditas budaya pada masyarakat lokal, khususnya di komunitas etnik Jawa (Jember), etnik Tengger (Probolinggo/Bromo), dan Using (Banyuwangi). Hibriditas yang dibaca dalam penelitian ini terkait praktik dan orientasi kultural di masyarakat lokal di tengah-tengah pengaruh budaya modern saat ini. Budaya modern, utamanya yang disebarkan melalui industri media, secara pasti, telah mampu menghegemoni praksis kultural yang terjadi di masyarakat. Akibatnya, kearifan budaya lokal yang selama ini diagung-agungkan sebagai benteng budaya, sebenarnya tengah mengalami pergeseran bentuk, praktik, dan orientasi. Pergeseran tersebut lebih mengarah pada percampuran kultural, dimana masyarakat lokal berusaha mempertahankan dan menegosiasikan sebagian karakteristik budaya lokal mereka sembari memasukkan dan mempraktikkan budaya modern dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk bisa mengkaji persoalan hibriditas budaya pada masyarakat lokal secara kritis, penelitian ini pada tahap awal dikumpulkan data-data etnografis/lapangan, untuk kemudian dianalisis dengan pendekatan cultural studies dan postcolonial studies yang banyak dikembangkan di Inggris dan Amerika dan sudah dimodifikasi untuk konteks lokalitas Indonesia. Analisis akan lebih diarahkan pada (1) bentuk, benda, praktik, dan nilai-nilai modernitas yang berkembang dan berpengaruh pada masyarakat lokal; (2) potensi hegemonik budaya modern terhadap kehidupan sosio-kultural masyarakat lokal; (3) siasat dan negosiasi yang dilakukan masyarakat lokal untuk memasukkan nilai serta praktik budaya modern ke dalam budaya lokal; dan, (4) bentuk dan praktik hibriditas kultural yang terjadi dalam masyarakat lokal. Dari pembacaan kritis tersebut, analisis kemudian dipertajam untuk melihat potensi politis di balik hibriditas budaya: (1) apakah lebih mengarah pada penguatan transformatif budaya lokal dalam konteks modernitas saat ini ataukah (2) cenderung melemahkan budaya lokal karena hanya mencampurkan bentuk lokalitas ke dalam modernitas, sehingga kehilangan kearifan-kearifan konsensual dalam masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat dan budaya lokal tengah, sedang, dan akan terus menjadi “sang hibrid” di tengah-tengah kuatnya pengaruh modernitas dan pasar. Dalam kondisi hibriditas kultural tersebut, banyak kepentingan politis, ekonomis, maupun kultural yang saling berkontestasi untuk memanfaatkan budaya tradisi dalam kerangka pikir kontemporer yang semakin modern dan ter-pasar-kan. Masyarakat lokal, demi kepentingan politik identitas mereka, akan selalu menegosiasikan budaya tradisi di tengah-tengah laku modern, agar mereka bisa terus membangun subjektivitas mereka yang cair, menerima modernitas tanpa sepenuhnya sembari menjalankan tradisionalitas tanpa sepenuhnya pula. Rezim negara akan menggunakan hibriditas kultural untuk terus menciptakan program-program pariwisata budaya yang menghasilkan keuntungan finansial sembari mendapatkan penerimaan konsensual dari publik. Pemodal dengan cara cair dan liat akan mengkomodifikasi budaya tradisi yang menjadi kebanggaan dan mengembalikannya kepada masyarakat dalam bentuk produk industrial berorientasi bisnis.
Dalam kondisi jagat lokal yang demikian, para pengkaji budaya lokal tidak bisa lagi menggunakan paradigma esensial yang memandang budaya dan masyarakat lokal sebagai entitas adiluhung. Konstruksi esesialis sangat mungkin memproduksi pengetahuan tentang lokalitas dalam cara pandang yang keliru karena menegasikan aspek-aspek hibriditas dan dinamika kultural yang nyata-nyata tengah dan akan terus berlangsung. Dengan memposisikan cultural studies dan postcolonial studies berdampingan dengan ekonomi politik, para pengkaji budaya lokal akan bisa menghasilkan temuan-temuan kritis yang bisa menjadi alternatif bagi dunia akademis, masyarakat lokal, maupun pemerintah dalam melihat dan memposisikan budaya lokal.
Collections
- LRR-Hibah Fundamental [144]