Show simple item record

dc.contributor.advisorAGUSTINI, Aisa Tri
dc.contributor.advisorA.ROZQI
dc.contributor.authorFIRDAUS, Fahmi
dc.date.accessioned2019-11-26T06:30:14Z
dc.date.available2019-11-26T06:30:14Z
dc.identifier.nimNIM150810301034
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id//handle/123456789/96086
dc.description.abstractPerubahan iklim dunia akibat peningkatan emisi gas sebagai aktivitas industri telah mengubah perekonomian dunia saat ini. Emisi gas buang industri akan berdampak pada reaksi aktvitas operasional perusahaan dan akan menyumbangkan dampak berkelanjutan dalam skala yang lebih besar, yakni bagi perekonomian negara. Emisi gas yang dihasilkan perusahaan berasal dari berbagai aktivitas dan sektor perusahaan, seperti sektor kehutanan, kelautan, tambang dan jenis sektor lainnya. Peningkatan emisi gas tertinggi di Indonesia disebabkan oleh sektor kehutanan, karena adanya penurunan fungsi lahan dan hutan yang disebut Deforestasi. Peningkatan deforestasi di Indonesia telah memposisikan sektor kehutanan Indonesia sebagai penyumbang emisi gas dunia tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara G-20. Peningkatan emisi gas akibat deforestasi tentu akan berdampak terhadap kehidupan sosial manusia (people), keberlanjutan lingkungan (planet), dan keberlanjutan aktivitas ekonomi (profit). Kerusakan lingkungan hidup akibat perubahan ikim global menjadi topik yang banyak diperbincangkan dalam dunia industri saat ini. (Marlin, 2017). Perubahan tersebut juga berdampak pada kegagalan aktivitas industri (profit), sehingga ada peluang besar tidak tercapainya tujuan utama perusahaan untuk memperoleh profit dalam jangka panjang, dimana kondisi tersebut bertolak belakang dengan konsep Teori Perusahaan. Berdasarkan The Theory of Firm menyatakan bahwa tujuan utama perusahaan adalah untuk memperoleh laba dengan meningkatkan nilai untuk jangka panjang. Sejalan dengan teori tersebut, John Elkington (1997) menyatakan bahwa konsep triple bottom line (3p) yang terdiri atas people, planet and profit merupakan tiga pilar utama yang digunakan untuk mengukur nilai kesuksesan suatu entitas. Perubahan iklim telah melahirkan trend ekonomi baru dan mengubah tujuan perusahaan dari profit oriented menjadi sustainable oriented, sehingga perlu adanya usaha penanggulangan secara preventif dalam mengatasi permasalahan reduksi emisi gas yang berkelanjutan (Aziz, 2018). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui The United Nation Convention on Climate Change telah mengeluarkan Protokol Kyoto sebagai deklarasi perjanjian internasional guna meratifikasi negara-negara diseluruh dunia, termasuk di Indonesia untuk turut berkontribusi dalam menangani isu kerusakan lingkungan. Kemunculan perjanjian Protokol Kyoto telah membuka jalan dunia industri untuk lebih bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan akibat emisi karbon (carbon emission). Menanggapi permasalahan tersebut Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan peningkatan emisi karbon, diantaranya adalah regulasi Pemerintah RI Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK dan UUD 1945 Pasal 28H (1) dan Pasal 33 (4) tentang hak konstitusional masyarakat Indonesia untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Ratifikasi reduksi emisi gas sektor kehutanan telah dicanangkan melalui kegiatan perdagangan karbon (trading carbon), dimana Kementerian Kehutanan Indonesia telah mengularkan regulasi terkait perdagangan karbon. Kebijakan-kebijakan tersebut telah mendukung adanya pelaksanaan carbon accounting di Indonesia. Aktivitas pengurangan emisi gas turut didukung dengan adanya tuntutan dari para green stakeholder yang memiliki orientasi berkelanjutan untuk memberikan respon tambah bagi perusahaan yang melakukan dan bertanggung jawab terhadap aktivitas emisi gas industri guna lebih terbuka dalam melaporkan dan menjalankan kewajibannya terhadap emisi gas karbon pada laporan keuangan perusahaan secara mandiri (Jannah, 2014). Laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan harus memberikan nilai yang informatif, sehingga dapat digunakan sebagai sumber informasi pengambilan keputusan ekonomi. Paradigma tersebut telah mendorong munculnya sebuah konsep akuntansi karbon di Indonesia (Pratiwi, 2017). Stechemester dan Guenther (2012:17) dalam (Ahmad & Hossain, 2015) mengidentifikasi bahwa akuntansi karbon merupakan bagian dari lingkup akuntansi lingkungan. Protokol Kyoto mendefinisikan Carbon Accounting sebagai suatu proses akuntansi yang bertujuan untuk mengukur jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer sebagai hasil dari proyek-proyek mekanisme fleksibel di bawah protokol Kyoto, salah satunya melalui perdagangan karbon. Menanggapi hal tersebut, akuntansi karbon mulai dikembangkan untuk membantu evaluasi dan proses penentuan nilai perdagangan karbon dan melaporkannya (Puspita, 2015). Model perdagangan karbon (Gas Emission Allowance Trading) akan menunjukan kondisi emisi gas yang dialokasikan sebagai surplus dan defisit. Paradigma tersebut telah mengembangkan konsep perdagangan karbon (carbon trading) dengan mekanisme jual-beli, artinya akan ada dua pihak yang berkaitan yakni pihak yang menghasilkan karbon akan membayar sejumlah dana kompensasi kepada pihak yang berpotensi menyerap karbon, sedangkan pihak yang memiliki potensi penyerapan karbon akan melakukan offset atas kemampuan serap karbon yang dimiliki dengan potensi karbon yang dihasilkan. Hasil offset perusahaan memiliki surplus potensi serap karbon, maka perusahaan dapat menjual surplus potensi serap karbon tersebut ke perusahaan yang mengalami defisit potensi serap karbon. Sebaliknya, apabila hasil offset perusahaan mengalami defisit serap karbon, maka perusahaan akan membayar jasa lingkungan serap karbon kepada perusahaan yang memiliki surplus potensi serap karbon (UNFCCC, 2007). Perdagangan karbon memiliki objek dagang berupa sertifikat penurunan emisi yang disebut SPEKHI untuk sektor kehutanan. Penelitian ini menggunakan perusahaan sektor kehutanan di Indonesia yang memiliki potensi penyumbang deforestasi teringgi berdasarkan Data The Forest Watch of Indonesia (2018), dengan membandingkan kemampuan daya serap perusahaan terhadap tingkat deforestasi dan penignkatan emisi gas sebagai dampak perubahan iklim dunia. Data emisi gas yang diguankan adalah dari tahun 2009-2016 dengan data yang tidak teridentifikasi secara kurun waktu, dimana data yang digunakan menggunakan data akumulasi yang teridentifikasi oleh The Forest Watch of Indonesia (2018). Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis kondisi data di lapangan terkait emisi gas dan laporan keuangan tahunan (Annual Report) perusahaan untuk tahun 2016. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laporan Keuangan Tahunan dan Data Emisi Gas yang dihasilkan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk, PT. Fajar Sadaya, Tbk dan PT. Gaharu Mas dan Teluk Nauli yang diidentifikasi sebagai penghasil emisi gas deforestasi tertinggi di Indonesia berdasarkan Data The Forest Watch of Indonesia (2018). Pemelihan objek penelitian menggunakan asumsi bahwa objek penelitian adalah perusahaan yang berpotensi dalam peningkatan emisi gas menurut Data The Forest Watch of Indonesia (2018) dan telah menyajikan total emisi gas yang dihasilkan dalam laporan tahunannya. The Platform Carbon Accounting Financials Report (2017) menyebutkan bahwa laporan emisi karbon harus mampu memenuhi lima persyaratan laporan keuangan (Relevance, Completeness, Consistency, Transparancy, Accuracy), artinya laporan keuangan yang disajikan harus memiliki informasi yang akuntabel guna memnuhi kebutuhan para stakeholdernya. Hasil penelitian menunjukan bahwa, ketiga perusahaan yang menjadi objek penelitian belum menyajikan aspek emisi gas dalam laporan keuangannya, sehingga perusahaan belum memiliki tanggung jawab terhadap dampak deforestasi yang dihasilkannya. Perusahaan hanya menyajikan aspek emisi gas dalam laporan tahunan (annual report) dengan menyajikan total emisi yang dihasilkan dan direduksi. Laporan emisi gas sebagai bagian terintegrasi dari CSR perlu diungkapkan secara terpisah, karena perusahaan tidak hanya diharuskan menyajikan laporan dalam bentuk kuantitatif, namun perusahaan dinilai perlu mengungkapkan segala bentuk kegiatan operasional terkait biaya-biaya lingkungan dalam bentuk narrative text, descriptive, data, gambar dan tabel (Nugroho, 2009). Tujuannya adalah sebagai usaha mitigasi emisi gas, transaparansi dan akuntabilitas. Pengungkapan emisi karbon akan sangat berpengaruh terhadap minat investasi terhadap industri perusahaan-perusahaan besar (Allianz, 2017). Seluruh biaya yang diklasifikasikan dalam mitigasi emisi gas dikategorikan sebagai biaya-biaya yang dicatat dan dihitung dalam carbon accounting dan dapat diintegrasikan dalam laporan CSR secara mandiri terkait emisi karbon (Patricia, 2011). Carbon Accounting akan memberikan dampak positif bagi perusahaan, sehingga ada 2 dampak yang dikategorikan menurut Ramadhani (2015) bahwa carbon accounting sangat berkaitan dengan cost cutting and loyality of stakeholder. Istilah stakeholder value sering digunakan dalam membangun loyalitas para stakeholder yang akan menjadi nilai tambah bagi perusahaan. Mendukung pendapat tersebut, bahwa tujuan dari carbon accounting adalah untuk memberdayakan masyarakat dan organisasi dalam mempertanggung jawabkan segala bentuk kegiatannya dan melaporkan aspek emisi gas industri. Pelaporan aspek carbon accounting dalam sustainability reporting merupakan media komunikasi perusahaan untuk membangun kepercayaan (Nugroho, 2009). Konsep tersebut didasari atas tujuan utama perusahaan bahwa untuk membangun citra positif sebagai brand image dimata para stakeholder, perlu adanya penyajian sustainability reporting terkait pertanggung jawaban lingkungan xiii dan emisi gas (Ramdhani, 2015). Menurut Berthelot dan Robert (2011) dalam Marlin (2017) menyebutkan bahwa akan ada beberapa keuntungan yang didapatkan atas pelaporan emisi karbon seperti legitimasi dari stakeholder, menghinadri peningkatan operating cost, pengurangan permintaan (reduce demand), risiko reputasi (reputational risk), proses hukum, serta denda dan pinalti. Dampak tersebut menjadi cikal bakal perlunya penyajian aspek emisi gas dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Permasalahan penerapan akuntansi karbon adalah International Financial Reporting Standard (IFRS) sebagai dasar adopsi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di Indonesia belum menetapkan sebuah aturan mandatory disclosure atas laporan emisi gas (Shodiq, 2015), sehingga perspektif akuntansi mengalami dilema ketika harus dihadapkan pada tuntutan penyajian laporan emisi gas yang memenuhi syarat pelaporan (Hariyani dan Martini, 2012). Hasil penelitian menunjukan bahwa ojek penelitian berpotensi dalam meningkat emisi karbon dari sektor kehutanan. Analisis penelitian menunjukan bahwa berdasarkan Regulasi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dalam P.20/ Menhut-II/2012 Pasal 8 ayat 5 terkait batas ambang emisi sebesar 49% bagi perusahaan sektor kehutanan telah mengelompokan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dengan alokasi Cap-And-Trade emisi gas atau Carbon Allowance dengan nilai dibawah batas ambang emisi yang diperbolehkan (surplus), dan mengelompokan PT. Fajar Swadaya, Tbk dan PT. Gaharu Mas dan Teluk Nauli dengan nilai diatas ambang 49% (defisit). Kondisi tersebut selaras dengan berkembangnya pasar karbon yang memaksa adanya suatu adaptasi baru terkait pelaporan aspek emisi gas dalam laporan keuangan perusahaan yang disebut akuntansi karbon (carbon accounting). Hasil dari perdagangan karbon akan diakui sebagai pendapatan diluar usaha atas penjual atas alokasi batas ambang emisi yang bernilai surplus dan diakui sebagai beban operasional atau beban kontijensi bagi perusahaan yang mengalokasikan batas ambang emisi pada kondisi defisit, sedangkan untuk perlakuan akuntansi terkait lainnya menyesuaikan dengan transaksinya. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah penelitian hanya terbatas pada perusahaan sektor kehutanan di Indonesia, adanya keterbatasan Standar Akuntansi di Indonesia untuk Akuntansi Karbon, minimnya rujukan data perusahaan yang menggunakan akuntansi karbon sebagai pilar pelaksanaan perdagangan karbon, data emisi gas yang digunakan adalah data tahun 2018 untuk sektor kehutanan yang menggunakan rentan waktu tidak beraturan, yakni antara 2009-2016, dan minimnya data harga pasar untuk perdagangan karbon yang disediakan dalam pasar karbon (carbon market). Berdasarkan keterbatasan dari penelitian tersebut, maka penulis memberikan saran untuk penelitian selanjutnya dengan mencari data dan rujukan utama dalam penulisan, serta sumber informasi lainnya sehingga menghasilkan hasil penelitian yang lebih relevan. Penelitian dapat dikembangkan dengan memperluas sektor penelitian dan tidak terbatas pada satu sektor saja, serta selalu menyeimbangkan dengan berbagai regulasi dan aturan yang berlaku disesuaikan dengan acuan pasar karbon terbaru.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries150810301034;
dc.subjectPerdagangan Karbonen_US
dc.subjectAkuntansi Karbonen_US
dc.subjectCurrent Costen_US
dc.subjectAccountingen_US
dc.titleAkuntansi Karbon Sebagai Pendorong Pembangunan Berkelanjutan: Analisis Perhitungan Trading Carbon Sebagai Arah Pedoman Penyajian Laporan Keuangan Pada Perusahaan Sektor Kehutanan Di Indonesiaen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record