dc.description.abstract | Perubahan iklim dunia akibat peningkatan emisi gas sebagai aktivitas
industri telah mengubah perekonomian dunia saat ini. Emisi gas buang industri
akan berdampak pada reaksi aktvitas operasional perusahaan dan akan
menyumbangkan dampak berkelanjutan dalam skala yang lebih besar, yakni bagi
perekonomian negara. Emisi gas yang dihasilkan perusahaan berasal dari berbagai
aktivitas dan sektor perusahaan, seperti sektor kehutanan, kelautan, tambang dan
jenis sektor lainnya. Peningkatan emisi gas tertinggi di Indonesia disebabkan oleh
sektor kehutanan, karena adanya penurunan fungsi lahan dan hutan yang disebut
Deforestasi. Peningkatan deforestasi di Indonesia telah memposisikan sektor
kehutanan Indonesia sebagai penyumbang emisi gas dunia tertinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara G-20. Peningkatan emisi gas akibat
deforestasi tentu akan berdampak terhadap kehidupan sosial manusia (people),
keberlanjutan lingkungan (planet), dan keberlanjutan aktivitas ekonomi (profit).
Kerusakan lingkungan hidup akibat perubahan ikim global menjadi topik yang
banyak diperbincangkan dalam dunia industri saat ini. (Marlin, 2017). Perubahan
tersebut juga berdampak pada kegagalan aktivitas industri (profit), sehingga ada
peluang besar tidak tercapainya tujuan utama perusahaan untuk memperoleh profit
dalam jangka panjang, dimana kondisi tersebut bertolak belakang dengan konsep
Teori Perusahaan. Berdasarkan The Theory of Firm menyatakan bahwa tujuan
utama perusahaan adalah untuk memperoleh laba dengan meningkatkan nilai
untuk jangka panjang. Sejalan dengan teori tersebut, John Elkington (1997)
menyatakan bahwa konsep triple bottom line (3p) yang terdiri atas people, planet
and profit merupakan tiga pilar utama yang digunakan untuk mengukur nilai
kesuksesan suatu entitas.
Perubahan iklim telah melahirkan trend ekonomi baru dan mengubah tujuan
perusahaan dari profit oriented menjadi sustainable oriented, sehingga perlu
adanya usaha penanggulangan secara preventif dalam mengatasi permasalahan
reduksi emisi gas yang berkelanjutan (Aziz, 2018). Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) melalui The United Nation Convention on Climate Change telah
mengeluarkan Protokol Kyoto sebagai deklarasi perjanjian internasional guna
meratifikasi negara-negara diseluruh dunia, termasuk di Indonesia untuk turut
berkontribusi dalam menangani isu kerusakan lingkungan. Kemunculan perjanjian
Protokol Kyoto telah membuka jalan dunia industri untuk lebih bertanggung
jawab terhadap pencemaran lingkungan akibat emisi karbon (carbon emission).
Menanggapi permasalahan tersebut Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
kebijakan dan regulasi yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan peningkatan emisi karbon, diantaranya adalah regulasi Pemerintah RI Perpres No.
61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK dan UUD
1945 Pasal 28H (1) dan Pasal 33 (4) tentang hak konstitusional masyarakat
Indonesia untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Ratifikasi reduksi
emisi gas sektor kehutanan telah dicanangkan melalui kegiatan perdagangan
karbon (trading carbon), dimana Kementerian Kehutanan Indonesia telah
mengularkan regulasi terkait perdagangan karbon. Kebijakan-kebijakan tersebut
telah mendukung adanya pelaksanaan carbon accounting di Indonesia.
Aktivitas pengurangan emisi gas turut didukung dengan adanya tuntutan
dari para green stakeholder yang memiliki orientasi berkelanjutan untuk
memberikan respon tambah bagi perusahaan yang melakukan dan bertanggung
jawab terhadap aktivitas emisi gas industri guna lebih terbuka dalam melaporkan
dan menjalankan kewajibannya terhadap emisi gas karbon pada laporan keuangan
perusahaan secara mandiri (Jannah, 2014). Laporan keuangan yang disajikan oleh
perusahaan harus memberikan nilai yang informatif, sehingga dapat digunakan
sebagai sumber informasi pengambilan keputusan ekonomi. Paradigma tersebut
telah mendorong munculnya sebuah konsep akuntansi karbon di Indonesia
(Pratiwi, 2017). Stechemester dan Guenther (2012:17) dalam (Ahmad & Hossain,
2015) mengidentifikasi bahwa akuntansi karbon merupakan bagian dari lingkup
akuntansi lingkungan. Protokol Kyoto mendefinisikan Carbon Accounting sebagai
suatu proses akuntansi yang bertujuan untuk mengukur jumlah karbon dioksida
yang dilepas ke atmosfer sebagai hasil dari proyek-proyek mekanisme fleksibel di
bawah protokol Kyoto, salah satunya melalui perdagangan karbon. Menanggapi
hal tersebut, akuntansi karbon mulai dikembangkan untuk membantu evaluasi dan
proses penentuan nilai perdagangan karbon dan melaporkannya (Puspita, 2015).
Model perdagangan karbon (Gas Emission Allowance Trading) akan
menunjukan kondisi emisi gas yang dialokasikan sebagai surplus dan defisit.
Paradigma tersebut telah mengembangkan konsep perdagangan karbon (carbon
trading) dengan mekanisme jual-beli, artinya akan ada dua pihak yang berkaitan
yakni pihak yang menghasilkan karbon akan membayar sejumlah dana
kompensasi kepada pihak yang berpotensi menyerap karbon, sedangkan pihak
yang memiliki potensi penyerapan karbon akan melakukan offset atas kemampuan
serap karbon yang dimiliki dengan potensi karbon yang dihasilkan. Hasil offset
perusahaan memiliki surplus potensi serap karbon, maka perusahaan dapat
menjual surplus potensi serap karbon tersebut ke perusahaan yang mengalami
defisit potensi serap karbon. Sebaliknya, apabila hasil offset perusahaan
mengalami defisit serap karbon, maka perusahaan akan membayar jasa
lingkungan serap karbon kepada perusahaan yang memiliki surplus potensi serap
karbon (UNFCCC, 2007). Perdagangan karbon memiliki objek dagang berupa
sertifikat penurunan emisi yang disebut SPEKHI untuk sektor kehutanan.
Penelitian ini menggunakan perusahaan sektor kehutanan di Indonesia yang
memiliki potensi penyumbang deforestasi teringgi berdasarkan Data The Forest
Watch of Indonesia (2018), dengan membandingkan kemampuan daya serap
perusahaan terhadap tingkat deforestasi dan penignkatan emisi gas sebagai
dampak perubahan iklim dunia. Data emisi gas yang diguankan adalah dari tahun
2009-2016 dengan data yang tidak teridentifikasi secara kurun waktu, dimana data yang digunakan menggunakan data akumulasi yang teridentifikasi oleh The
Forest Watch of Indonesia (2018). Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis
kondisi data di lapangan terkait emisi gas dan laporan keuangan tahunan (Annual
Report) perusahaan untuk tahun 2016. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
kualitatif dengan metode studi kasus. Objek yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Laporan Keuangan Tahunan dan Data Emisi Gas yang dihasilkan PT. Toba
Pulp Lestari, Tbk, PT. Fajar Sadaya, Tbk dan PT. Gaharu Mas dan Teluk Nauli
yang diidentifikasi sebagai penghasil emisi gas deforestasi tertinggi di Indonesia
berdasarkan Data The Forest Watch of Indonesia (2018). Pemelihan objek
penelitian menggunakan asumsi bahwa objek penelitian adalah perusahaan yang
berpotensi dalam peningkatan emisi gas menurut Data The Forest Watch of
Indonesia (2018) dan telah menyajikan total emisi gas yang dihasilkan dalam
laporan tahunannya. The Platform Carbon Accounting Financials Report (2017)
menyebutkan bahwa laporan emisi karbon harus mampu memenuhi lima
persyaratan laporan keuangan (Relevance, Completeness, Consistency,
Transparancy, Accuracy), artinya laporan keuangan yang disajikan harus
memiliki informasi yang akuntabel guna memnuhi kebutuhan para
stakeholdernya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, ketiga perusahaan yang menjadi objek
penelitian belum menyajikan aspek emisi gas dalam laporan keuangannya,
sehingga perusahaan belum memiliki tanggung jawab terhadap dampak
deforestasi yang dihasilkannya. Perusahaan hanya menyajikan aspek emisi gas
dalam laporan tahunan (annual report) dengan menyajikan total emisi yang
dihasilkan dan direduksi. Laporan emisi gas sebagai bagian terintegrasi dari CSR
perlu diungkapkan secara terpisah, karena perusahaan tidak hanya diharuskan
menyajikan laporan dalam bentuk kuantitatif, namun perusahaan dinilai perlu
mengungkapkan segala bentuk kegiatan operasional terkait biaya-biaya
lingkungan dalam bentuk narrative text, descriptive, data, gambar dan tabel
(Nugroho, 2009). Tujuannya adalah sebagai usaha mitigasi emisi gas,
transaparansi dan akuntabilitas. Pengungkapan emisi karbon akan sangat
berpengaruh terhadap minat investasi terhadap industri perusahaan-perusahaan
besar (Allianz, 2017). Seluruh biaya yang diklasifikasikan dalam mitigasi emisi
gas dikategorikan sebagai biaya-biaya yang dicatat dan dihitung dalam carbon
accounting dan dapat diintegrasikan dalam laporan CSR secara mandiri terkait
emisi karbon (Patricia, 2011).
Carbon Accounting akan memberikan dampak positif bagi perusahaan,
sehingga ada 2 dampak yang dikategorikan menurut Ramadhani (2015) bahwa
carbon accounting sangat berkaitan dengan cost cutting and loyality of
stakeholder. Istilah stakeholder value sering digunakan dalam membangun
loyalitas para stakeholder yang akan menjadi nilai tambah bagi perusahaan.
Mendukung pendapat tersebut, bahwa tujuan dari carbon accounting adalah untuk
memberdayakan masyarakat dan organisasi dalam mempertanggung jawabkan
segala bentuk kegiatannya dan melaporkan aspek emisi gas industri. Pelaporan
aspek carbon accounting dalam sustainability reporting merupakan media
komunikasi perusahaan untuk membangun kepercayaan (Nugroho, 2009).
Konsep tersebut didasari atas tujuan utama perusahaan bahwa untuk
membangun citra positif sebagai brand image dimata para stakeholder, perlu
adanya penyajian sustainability reporting terkait pertanggung jawaban lingkungan
xiii
dan emisi gas (Ramdhani, 2015). Menurut Berthelot dan Robert (2011) dalam
Marlin (2017) menyebutkan bahwa akan ada beberapa keuntungan yang
didapatkan atas pelaporan emisi karbon seperti legitimasi dari stakeholder,
menghinadri peningkatan operating cost, pengurangan permintaan (reduce
demand), risiko reputasi (reputational risk), proses hukum, serta denda dan
pinalti. Dampak tersebut menjadi cikal bakal perlunya penyajian aspek emisi gas
dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Permasalahan penerapan akuntansi
karbon adalah International Financial Reporting Standard (IFRS) sebagai dasar
adopsi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di Indonesia belum
menetapkan sebuah aturan mandatory disclosure atas laporan emisi gas (Shodiq,
2015), sehingga perspektif akuntansi mengalami dilema ketika harus dihadapkan
pada tuntutan penyajian laporan emisi gas yang memenuhi syarat pelaporan
(Hariyani dan Martini, 2012).
Hasil penelitian menunjukan bahwa ojek penelitian berpotensi dalam
meningkat emisi karbon dari sektor kehutanan. Analisis penelitian menunjukan
bahwa berdasarkan Regulasi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dalam
P.20/ Menhut-II/2012 Pasal 8 ayat 5 terkait batas ambang emisi sebesar 49% bagi
perusahaan sektor kehutanan telah mengelompokan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk
dengan alokasi Cap-And-Trade emisi gas atau Carbon Allowance dengan nilai
dibawah batas ambang emisi yang diperbolehkan (surplus), dan mengelompokan
PT. Fajar Swadaya, Tbk dan PT. Gaharu Mas dan Teluk Nauli dengan nilai diatas
ambang 49% (defisit). Kondisi tersebut selaras dengan berkembangnya pasar
karbon yang memaksa adanya suatu adaptasi baru terkait pelaporan aspek emisi
gas dalam laporan keuangan perusahaan yang disebut akuntansi karbon (carbon
accounting). Hasil dari perdagangan karbon akan diakui sebagai pendapatan
diluar usaha atas penjual atas alokasi batas ambang emisi yang bernilai surplus
dan diakui sebagai beban operasional atau beban kontijensi bagi perusahaan yang
mengalokasikan batas ambang emisi pada kondisi defisit, sedangkan untuk
perlakuan akuntansi terkait lainnya menyesuaikan dengan transaksinya.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah penelitian
hanya terbatas pada perusahaan sektor kehutanan di Indonesia, adanya
keterbatasan Standar Akuntansi di Indonesia untuk Akuntansi Karbon, minimnya
rujukan data perusahaan yang menggunakan akuntansi karbon sebagai pilar
pelaksanaan perdagangan karbon, data emisi gas yang digunakan adalah data
tahun 2018 untuk sektor kehutanan yang menggunakan rentan waktu tidak
beraturan, yakni antara 2009-2016, dan minimnya data harga pasar untuk
perdagangan karbon yang disediakan dalam pasar karbon (carbon market).
Berdasarkan keterbatasan dari penelitian tersebut, maka penulis
memberikan saran untuk penelitian selanjutnya dengan mencari data dan rujukan
utama dalam penulisan, serta sumber informasi lainnya sehingga menghasilkan
hasil penelitian yang lebih relevan. Penelitian dapat dikembangkan dengan
memperluas sektor penelitian dan tidak terbatas pada satu sektor saja, serta selalu
menyeimbangkan dengan berbagai regulasi dan aturan yang berlaku disesuaikan
dengan acuan pasar karbon terbaru. | en_US |