dc.description.abstract | Asma merupakan gangguan inflamasi kronik yang terjadi pada saluran
pernafasan dimana banyak sel yang berperan seperti sel mast, eosinofil, limfosit-T,
makrofag, neutrofil, dan sel epitel (Kelly & Christine, 2008). Kementrian Kesehatan
RI menyatakan bahwa prevalensi asma di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 4,5%
dan provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi yaitu Sulawesi Tengah sebesar 7,8%
(Kemenkes RI, 2015). Salah satu terapi farmakologi yang digunakan dalam serangan
asma yaitu golongan short acting beta agonist (SABA) seperti salbutamol sulfat (SS).
SS jarang digunakan secara per-oral dan biasanya digunakan secara inhalasi.
Penggunaan secara per-oral memiliki kelemahan yaitu obat akan mengalami first pass
metabolism di hati dan juga degradasi usus besar sehingga menyebabkan
bioavailabilitas obat hanya 50% (Vasantha et al., 2011). Penggunaan secara inhalasi
juga memiliki kekurangan salah satunya diperlukan cara penggunaan yang khusus
dan sebagian besar pasien tidak dapat menggunakan inhaler dengan benar, sehingga
memungkinkan untuk terjadinya kesalahan penggunaan inhaler pada pasien (NACA,
2008). Masalah tersebuta dapat diatasi dengan pemberian salbutamol sulfat melalui
rute lain yaitu sistem penghantaran buccal.
Buccal merupakan salah satu sistem penghantaran obat secara sistemik
melalui mukosa buccal atau lapisan pipi. Kelebihan dari rute buccal yaitu dapat
meningkatkan bioavailabilitas obat karena obat tidak terdegradasi dalam saluran
cerna, tidak mengalami first pass metabolism, onset obat cepat, dapat digunakan
untuk obat dengan waktu paruh dan rentang terapi yang pendek, dan dapat
mengurangi frekuensi pemberian obat. Sediaan buccal mucoadhesive memiliki
beberapa bentuk seperti tablet, patch, gel, salep, dan film. Buccal film lebih disukai
daripada bentuk buccal tablet karena faktor fleksibilitas dan kenyamanan dalam penggunaan. Bentuk film memiliki waktu tinggal yang relatif lebih lama
dibandingkan bentuk gel yang lebih mudah hilang karena saliva (Semalty et al.,
2008).
Faktor yang mempengaruhi efektifitas sediaan film yaitu swelling index,
kekuatan mucoadhesive, dan waktu tinggal sediaan. Ketiga faktor tersebut
dipengaruhi oleh polimer yang digunakan. Buccal film memerlukan polimer yang
bersifat mucoadhesive dan memiliki sifat mekanik yang baik (kuat dan lentur). Pada
penelitian ini digunakan kombinasi polimer HPMC dan PVP dalam sediaan buccal
film salbutamol sulfat. Pemilihan penggunaan polimer tersebut menghasilkan
swelling index yang baik dan juga memberikan kekuatan mucoadhesive yang tinggi
(Patel et al., 2015). Kemudian dilakukan evaluasi yang meliputi organoleptis,
keseragaman bobot, keseragaman ketebalan film, ketahanan lipat, pH permukaan,
penentuan recovery salbutamol sulfat dalam sediaan, uji swelling index, kekuatan
mucoadhesive, dan waktu tinggal sediaan secara in vitro.
Hasil pengujian swelling index menunjukkan nilai FAB>FB>F1>FA dengan
nilai swelling index berturut-turut yaitu 3,798; 3,699; 2,966; dan 2,829. Hasil
kekuatan mucoadhesive menunjukkan nilai kekuatan FAB>FB>F1>FA dengan nilai
kekuatan mucoadhesive berturut-turut yaitu 29,366 gram; 24,5 gram; 13,566 gram;
dan 12,466 gram. Hasil dari pengujian waktu tinggal in vitro didapatkan hasil yaitu
FA>FAB>FB>F1 dengan nilai waktu berturut-turut yaitu 302 menit; 285,666 menit;
232,666 menit; dan 186,333 menit. Hasil dari pengujian swelling index, kekuatan
mucoadhesive, dan waktu tinggal in vitro ini kemudian dianalisis dengan
menggunakan software design expert versi 10. Hasil yang ditunjukkan dari analisis
menggunakan software design expert ini yaitu terdapat 6 solusi dengan formula
terpilih FAB sebagai formula optimum. Formula optimum FAB ini kemudian diuji
FTIR dan diuji pelepasan. Hasil uji FTIR menunjukkan bahwa tidak ada interaksi
antara polimer dan bahan aktif dalam sediaan buccal film salbutamol sulfat. Hasil uji
pelepasan menunjukkan bahwa film salbutamol sulfat telah terlepas dari sediaan
sekitar 89,126% setelah waktu ke 300 menit. | en_US |