| dc.description.abstract | Glibenklamid merupakan agen hipoglikemik oral yang memiliki kelarutan
rendah dalam air (Betageri & Makarla, 1995). Glibenklamid adalah generasi kedua sulfonylurea yang 
digunakan untuk terapi diabetes mellitus (Davis, 1996). Glibenklamid dalam Biopharmaceutical 
Classification System (BCS) termasuk dalam kelas II, dengan permeabilitas yang baik namun memiliki 
kelarutan yang rendah (Bachhav & Patravale, 2009).
Salah satu cara untuk meningkatkan kelarutan obat adalah menggunakan teknik dispersi padat. Metode 
dispersi padat telah digunakan secara luas untuk meningkatkan laju disolusi, kelarutan dan absorpsi 
obat oral yang sukar larut dalam air (Sultana & Saifuddin, 2016). Dispersi padat memiliki kelebihan 
dibandingkan dengan metode peningkatan kelarutan obat secara kimia seperti pembentukan soluble 
prodrugs dan pembentukan garam, yakni mudah diproduksi dan dapat diaplikasiksan untuk berbagai 
macam obat (asam, basa dan netral). Mekanisme peningkatan kelarutan dispersi padat adalah ketika 
dispersi padat bertemu dengan media berair, pembawanya akan larut dan obat akan terlepas dalam 
bentuk partikel koloidal yang halus. Hal tersebut menyebabkan luas permukaan meningkat dan 
kecepatan disolusi diharapkan dapat meningkat pula (Serajuddin, 1999).
Pada penelitian ini dibuat dispersi padat glibenklamid dengan metode peleburan dengan bahan aktif 
glibenklamid dan polimer yang digunakan PEG 4000. Metode peleburan memiliki keuntungan yakni 
sederhana, ekonomis, dan tidak membutuhkan pelarut. Bahan obat yang digunakan memiliki titik lebur 
hingga 174°C sehingga kemungkinan tidak terdegradasi akibat peleburan. PEG digunakan sebagai 
pembawa untuk dispersi padat karena memiliki titik leleh yang rendah, tingkat pembekuan yang cepat, 
kemampuan membentuk larutan padat obat, toksisitas rendah dan biaya rendah (Bley et al., 2010).
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui konsentrasi PEG 4000 dan suhu peleburan dispersi padat 
yang optimal untuk menghasilkan dispersi padat
viii
glibenklamid dengan metode peleburan yang memiliki persen pelepasan yang tertinggi. Formula yang 
terbentuk akan dievaluasi dengan uji organoleptis, uji homogenitas, uji disolusi, dan karakterisasi 
dengan DSC dan FTIR. Data hasil uji disolusi dianalisis menggunakan desain faktorial menggunakan 
respon persen pelepasan kumulatif. Formula terpilih dengan hasil persen pelepasan kumulatif yang 
optimum kemudian dikarakterisasi dengan dilakukan uji FTIR dan DSC.
Pengaruh konsentrasi PEG 4000 dan suhu peleburan serta interaksinya terhadap respon persen 
pelepasan kumulatif dapat diketahui dari nilai efek faktor. Konsentrasi PEG 4000 memberikan efek 
yang positif terhadap respon, sehingga semakin tinggi konsentrasi PEG 4000 yang digunakan maka akan 
meningkatkan respon persen pelepasan kumulatif. Suhu peleburan juga menunjukkan efek yang positif 
terhadap respon, dengan kata lain semakin tinggi suhu peleburan yang digunakan untuk pembuatan 
dispersi padat maka persen pelepasan kumulatif juga meningkat. Interaksi antar kedua faktor 
tersebut memberikan nilai positif. Formula optimum yang terpilih dari hasil optimasi dengan desain 
faktorial adalah formula F(ab) dengan konsentrasi PEG 4000 sebesar 10:11 dan suhu peleburan 160 °C 
memberikan respon persen pelepasan kumulatif sebesar 99,802 %.
Formula optimum F(ab) yang terpilih kemudian dikarakterisasi menggunakan FTIR dan DSC. Hasil uji 
FTIR formula F(ab) dibandingkan dengan spektra glibenklamid murni dan PEG 4000. Spektra FTIR 
formula F(ab) menunjukkan hilangnya gugus N-H (amida) pada bilangan gelombang 3315 cm-1 dari 
spektra glibenklamid dan munculnya gugus C=N pada bilangan gelombang 1617 cm-1, serta adanya 
pergeseran spektra pada gugus C-H, C=O dan C-O-C. Terjadi perubahan glibenklamid yang memiliki 
struktur kristal menjadi amorf ditunjukkan dengan terbentuknya formasi enol dari keto pada 
glibenklamid (Patterson et al., 2005).
Hasil uji DSC formula F(ab) dibandingkan dengan spektra glibenklamid murni menunjukkan titik puncak 
endotermik dari glibenklamid hilang dan berganti pada titik puncak endotermik suhu 62,5 °C dengan 
entalpi sebesar - 132,138 J/g. Apabila dibandingkan termogram glibenklamid dan dispersi padat,
ix
terdapat penurunan titik lebur yang cukup signifikan pada dispersi padat. Pergeseran titik lebur 
ini dikarenakan adanya ikatan antara bahan obat dengan pembawa. Berdasarkan hasil termogram 
tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan bentuk kristal glibenklamid menjadi bentuk amorf 
(Valleri, et al. 2004). | en_US |