dc.description.abstract | Salah satu assesmen berskala internasional yang dapat dijadikan ukuran
untuk mengetahui kemampuan matematika siswa yaitu hasil studi PISA. PISA
(Program for International Student Assessment) adalah studi tentang program
penilaian siswa tingkat internasional yang diselenggarakan oleh Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD) atau organisasi untuk
kerjasama ekonomi dan pembangunan. PISA bertujuan untuk menilai sejauh mana
siswa yang duduk di akhir tahun pendidikan dasar (siswa berusia 15 tahun) telah
menguasai pengetahuan dan keterampilan yang penting untuk dapat berpartisipasi
sebagai warga negara atau anggota masyarakat yang membangun dan
bertanggungjawab.
Indonesia telah berpartisipasi dalam Programme for International Student
Assessment (PISA) ini sejak tahun 2003, namun pencapaian prestasi Indonesia
pada studi PISA masih jauh dari predikat memuaskan. Pada tahun 2012, Indonesia
berada di rangking 64 dari 65 negara. Rata-rata skor matematika Indonesia 375,
padahal rata-rata skor OECD untuk literasi matematika adalah 494.
Soal PISA dikembangkan berdasarkan 4 konten, keempat konten
tersebut meliputi: Space and Shape, Change and Relationship, Quantity, dan
Uncertainty. Salah satu dari empat konten soal PISA adalah konten Space
and Shape (ruang dan bentuk). Ruang dan bentuk berkaitan dengan pelajaran
geometri. Soal tentang ruang dan bentuk ini menguji kemampuan siswa
mengenali bentuk, mencari persamaan dan perbedaan dalam berbagai dimensi dan
representasi bentuk, serta mengenali ciri-ciri suatu benda dalam hubungannya dengan posisi benda tersebut. (OECD, 2015). Hasil survey PISA 2012 menunjukkan siswa Indonesia masih tergolong
lemah dalam menyelesaikan soal-soal pada konten Space and Shape (Ruang dan
bentuk). Siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal konten Space and Shape
sebagian besar hanya mampu mencapai level 3 dan sedikit sekali yang mampu
mencapai level 4 dan 5 bahkan tidak ada siswa yang mampu mencapai level 6.
Level 1 – 3 pada PISA tergolong level Low Order Thingking Skill (LOTS)
meliputi mengingat, memahami, dan menerapkan, sedangkan level 4 - 6
tergolong level High Order Thingking Skill (HOTS) meliputi menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta (Setiawan, H.,Dafik., dan Lestari, S.D.N, 2014). Hal
ini menunjukkan siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal kategori rendah
dan sedikit sekali bahkan hampir tidak ada yang dapat menjawab soal yang
menuntut pemikiran tingkat tinggi.
Untuk mampu menjawab soal-soal dengan tipe HOTS, siswa harus
mempunyai kemampuan penalaran yang baik. Salah satu cara untuk melatih
kemampuan penalaran siswa adalah melalui pemberian soal-soal penalaran
yang didesain khusus. Siswa yang terbiasa menyelesaikan soal-soal tersebut
secara tidak langsung mengembangkan proses berpikir nalarnya. Namun siswa
Indonesia pada umumnya kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-soal dengan
karakteristik HOTS yang membutuhkan kemampuan penalaran yang baik seperti
pada soal-soal PISA, sehingga hal ini menjadi salah satu faktor penyebab
rendahnya hasil PISA siswa Indonesia. Masalah lain yang dihadapi guru adalah
masih sedikit tersedianya soal-soal yang berkarakteristik model PISA. Untuk itu,
diperlukan pengembangan soal-soal dengan karakteristik soal PISA terutama soal
yang mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS).
Soal-soal hasil pengembangan tentunya perlu dilakukan analisis. Analisis
soal dilakukan untuk mengetahui berfungsi tidaknya suatu soal. Dalam pengukuran suatu tes terdapat banyak alat analisis yang dapat digunakan. salah
satunya dengan menggunakan Teori Respon Butir (IRT). Teori Respon Butir
(IRT) merupakan teori pengukuran yang muncul untuk memperbaiki keterbatasan
Teori Tes Klasik (CTT). Pemodelan Rasch muncul dari analisis yang dilakukan
oleh Dr. Georg Rasch, seorang ahli matematika dari Denmark. Pemodelan Rasch merupakan satu model IRT yang paling popular. Rasch Model merupakan alat
analisis yang sangat berguna untuk menguji validitas, realibilitas instrumen, serta
person dan item secara sekaligus. Rasch Model telah memenuhi lima prinsip
model pengukuran yaitu: yang pertama mampu memberikan ukuran yang linier
dengan interval yang sama; kedua, dapat mengatasi data yang hilang; ketiga, bisa
memberikan estimasi yang lebih tepat; keempat, mampu mendeteksi
ketidaktepatan model: dan kelima, memberikan instumen pengukuran yang
independen dari parameter yang diteliti (Sumintono, B. & Widhiarso, W, 2014).
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah
bagaimana proses dan hasil pengembangan soal-soal matematika model PISA
pada konten Space and Shape untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat
tinggi berdasarkan analisis model rasch?
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pengembangan
soal dan memperoleh hasil pengembangan soal matematika model PISA konten
Space and Shape untuk mengetahui level kemampuan berpikir tingkat tinggi serta
hasil analisis siswa berdasarkan model Rasch. Prosedur pengembangan soal
dilaksanakan dalam dua tahap yaitu preliminary dan tahap formatif evaluation
yang meliputi self evaluation, expert reviews, one-to-one (low resistance to
revision) dan small group serta field test (high resistance in revision).
Pengembangan soal ini menghasilkan tiga paket soal. Setiap paket terdiri dari 9
soal yang mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi (menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta). Konten yang dikembangkan dalam pengembangan
soal model PISA ini adalah Ruang dan Bentuk (Space and Shape).
Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis data deskriptif
kuantitatif dan kualitatif. Data yang dianalisis yaitu lembar validasi dan lembar
jawaban siswa dari uji coba one to one, small group, dan field test. Analisis
data yang dilakukan meliputi analisis validitas oleh validator, dan analisis lembar
jawaban siswa dengan menggunakan analisis model Rasch. Subjek uji coba pada
penelitian ini adalah siswa kelas IX SMPN 2 Jember.
Hasil dari penelitian ini adalah diperoleh perangkat soal matematika
model PISA sebanyak 27 butir yang terbagi dalam 3 paket soal dengan valid. Valid tergambar dari hasil penilaian validator, hasil keterbacaan siswa uji coba
small group dan field test, serta berdasarkan analisis model Rasch. Hal ini
mengindikasikan bahwa perangkat soal mampu mengidentifikasi level
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Berdasarkan analisis tingkat kesukaran soal dalam uji coba field test
diperoleh pada paket soal 1 terdapat empat butir soal kategori mudah, satu butir
soal kategori sedang, dan empat butir soal kategori sulit. Pada paket soal 2
terdapat tiga butir soal kategori mudah , dan enam butir soal kategori sulit. Pada
paket soal 3 lima soal kategori mudah, dua butir soal kategori sedang, dan dua
butir soal kategori sulit.
Berdasarkan analisis kemampuan siswa pada penyelesaian paket soal 1 uji
coba field test sebanyak 30% siswa termasuk kategori kemampuan berpikir
tingkat tinggi level tinggi, 60% siswa termasuk kategori kemampuan berpikir
tingkat tinggi level menengah, dan hanya 10% siswa yang termasuk kategori
kemampuan berpikir tingkat tinggi level rendah. Pada paket soal 2 sebanyak 55%
siswa termasuk kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi level tinggi, 35%
siswa termasuk kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi level menengah, dan
hanya 10% siswa yang termasuk kategori kemampuan berpikir tingkat tinggi level
rendah. Pada paket soal terdapat hanya 7.5% siswa termasuk kategori kemampuan
berpikir tingkat tinggi level tinggi, 17.5% siswa termasuk kategori kemampuan
berpikir tingkat tinggi level menengah, dan 75% siswa termasuk kategori
kemampuan berpikir tingkat tinggi level rendah.
Berdasarkan hasil angket yang meminta siswa memberikan tanggapan
tehadap soal model PISA konten space and shape secara umum siswa
menunjukkan respon yang positif. Sebagian besar siswa menunjukkan ketertarikan
terhadap soal-soal yang diberikan. Mereka merasa tertantang dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan. | en_US |