POLA INTERAKSI STAKEHOLDERS DAN STRATEGI KEBIJAKAN YANG DELIBERATIF UNTUK PENGELOLAAN PENAMBANGAN PASIR BESI DI KABUPATEN LUMAJANG
Abstract
Kabupaten Lumajang merupakan wilayah Jawa Timur bagian selatan yang mempunyai cadangan potensi pasir besi, jika dieksploitasi akan mampu mensuplai kebutuhan bahan baku baja sekitar 60 % kebutuhan Jawa Timur, sehingga mempunyai nilai strategis dalam pengembangan industri baja nasional. Pemerintah telah berupaya untuk mengeksploitasi potensi tersebut dengan mengeluarkan pemberian ijin kepada dua investor pertambangan. Pertama, Dirjen Pertambangan Umum yang pernah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor : 30.K/24.02/DJP/2000 tanggal 7 Pebruari 2000 tentang pemberian kuasa pertambangan atas wilayah KW.09.PP.0290 seluas 504,4 Ha kepada PT Aneka Tambang, wilayah kuasa tersebut berada dipantai selatannya Desa Wotgalih Kecamatan Pasirian. Kedua, pemberian ijin kepada PT IMMS, yakni mengantongi ijin dari eksplorasi menjadi eksploitasi di kawasan pesisir pantai antara Bambang dan Dampar yang luasnya 1.195,856 hektare melalui Surat Keputusan Bupati Lumajang, Nomor: 503/436/427.14/2010, tanggal 20 Juli 2010. Alokasi ijin prinsip yang diperoleh PT IMMS adalah 8.000 hektar, jika ditarik garis lurus maka lahan pertambangan sesuai SIUP di pesisir pantai selatan dari arah barat ke timur mulai dari Kecamatan Tempusari hingga Kecamatan Yosowilanggun. Gejala sosial menunjukan bahwa penerimaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut bervariatif, yakni pro dan kontra. Ada warga terdampak yang awalnya pro tetapi dalam perjalanannya melakukan resistensi terhadap aktivitas investor, ada yang kontra dengan konsisten tinggi.
Penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitattif menemukan bahwa daya terima masyarakat terhadap eksploitasi pasir besi dipengaruhi preferensi nilai-nilai mereka dalam memandang kehidupan dan prasangka sosial masyarakat terdampak. Preferensi nilai tersebut berkontribui terhadap produk kepentingan-kepentingan publik ketika dilaksanakan sosialisasi. Masyarakat yang menerima akan memperjuangkan kepentingannya untuk diakomodasi dalam kesepakatan dengan pihak investor. Transparansi dan konsistensi tindakan dari investor dan pemerintah menjadi modal awal untuk membangun kepercayaan masyarakat pada proses merajut akomodasi, kerja sama, dan membangun koordinasi. Jika transparansi dan konsitensi tindakan tersebut berkurang magnitude-nya dan dirasa merugikan masyarakat maka masyarakat dapat bertindak sendiri yang menggangu proses eksploitasi. Dialog publik yang dibangun PT IMMS dan warga terdampak lebih mudah untuk proses akomodasi sebagai modal membangun kerjasana diantara stakeholders. Hal tersebut merupakan dasar membangun kebijakan publik deliberatif, tetapi yang disayangkan adalah proses bangun kebijakan publik deliberatif tersebut hanya berjalan pada awal eksploitasi. Proses tersebut tidak dilakukan secara konsisiten, sehingga menimbulkan ketidakpuasan warga terdampak, terutama dalam aspek pemberdayaan warga terdampak dalam memanfaatkan CSR yang dijanjikan perusahaan. Salah satu kelemahannya adalah pemerintah daerah sendiri belum membuat regulasi untuk pengelolaan pertambangan daerah. Penelitian yang dilaksanakan tahun 2012-2013 ini belum menemukan proses integrasi pada tahapan koordinasi apalagi assimilasi, pada sikap kontra warga Desa Wotgalih terhadap PT Antam juga belum ditemukan adanya solusi mediasi yang dapat diterima oleh pihak yang kontra.