Pola-pola Komunikasi Etnis Madura Pelaku Perkawinan Usia Dini (Kajian Etnografi Komunikasi)
Abstract
Masyarakat Madura memiliki tradisi budaya yang unik. Salah satu di antaranya
adalah tradisi perkawinan usia dini. Menggunakan pendekatan kualitatif, etngrafi
komunikasi, penelitian ini berusaha menggali dan mendeskripsikan pola-pola
komunikasi yang digunakan oleh warga etnis Madura dalam perkawinan usia dini.
Hasil akhir penelitian ini direncanakan berupa deskripsi dan eksplanasi tentang: (1)
pola-pola komunikasi antarkomunitas etnis Madura dalam rangakain kegiatan
perkawinan usia dini, (2) ragambahasa yang digunakan oleh komunitas etnis Madura
dalam rangkaian kegiatan perkawinan usia dini, (3) faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya kegagalan komunikasi warga etnis Madura pelaku perkawinan usia dini,
dan (4) forrnula strategi komunikasi yang dapat digunakan sebagai rujukan oleh
warga etnis Madura pelaku perkawinan usia dini. Penelitian ini direncanakan dua
tahun.
Oleh karena cakupannya yang luas, pada tahun peftama penelitian ini berhasil digali
dan dideskripsikan: (1) tradisi perkawinan usia dini pada masyarakar Madura di
Jember, Bondowoso, dan Situbondo, (2) tata cara berlangsungnya perkawinan usia
dini pada masyarakat Madura di Jember, Bondowoso, dan situbondo, (3) ragam
bahasa yang digunakan dalam rangkaian kegiatan perkawinan usia dini pada
masyarakat Madura di Jember, Bondowoso, dan Sifubondo, dan (4) ragam bahasa
yang digunakan oleh suami-istri pelaku perkawinan usia dini dalam ranah keluarga di
Jember, Bondowoso, dan Situbondo.
Dari penelitian ini diperoleh deskripsi bahwa tradisi perkawinan usia dini pada
masyarakat Madura, antara lain, didorong oleh adanya pandangan masyarakat
Madura bahwa anak gadis tidak pantas atau dianggap tabu jika menjadi praban toa
'perawan tua' atau ta' paju ka lake ' 'tidak laku'. Demikian sebaliknya, anak laki-laki
tidak pantas jika dikatakan ta' lalake' 'tidak laki-laki'. orang Madura malu jika
mempunyai anak perempuan dan laki-laki dikatakan demikian. Perkawinan adalah
salah satu bukti untuk menangkal pandangan tersebut. Akibatnya, orang Madura
cenderung tidak menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah umum secara
tuntas, melainkan memasukkan anak-anak mereka ke pesantren. orang Madura
berpandangan, "maselx asakola tenggih tak kerah daddi apah" (walapun sekolah
tinggi tidak akan jadi apa-apa, maksudnya tidak akan menjadi pejabat).
llt
Takut kalau-kalau anak mereka tidak menemukan jodoh, sejak kecil anak-anak
mereka sudah dipacangkan atau dicarikan bhakal (calon suami atau calon istri).
Sebelum upacara bhakalan, kegiatan ini biasanya diawali oleh kdgiatan ngangenangen
ata:u nyare ngen- angen atau mencari informasi (angin) berkaitan dengan status
perempuan yang akan dilamar. Ragam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi
dalam kegiatan nyare ngen-angen kepada orang tua calon perempuan yang
ditanyakan statusnya biasanya adalah bahasa Madura ragam engghi-bhunten (BM EB).
Gaya retorika yang digunakan adalah gaya retorika tidak langsung yaitu berupa
bahasa ibarat. Utusan mengibaratkan seoang gadis yang ditanyakan dengan hewan
piaraan (seekor ayam atau seekor sapi) atau tanaman (bunga).
Inti dari acara perkawinan usia dini pada masyarakat Madura adalah diadakannya
upacara pernikahan yang ditandai oleh adanya prosesi yang disebut sebagai --alimantl
nikah. Dalam upacara ini ada yang menggunakan bahasa Arab, bahasa Indonesia, dan
bahasa Madura. Ragam bahasa yang digunakan untuk berdoa biasanya gabungan
antara bahasa Arab dan bahasa Madura ragam E-B. Ragam bahasa yang digunakan
dalam pembacaan ikrar adalah bahasa Indonesia, sedangkan penjelasan tentang hak
dan kewajiban suami atas istri menggunakan BM ragam E-E atau B-B.
Dalam mengobrol dengan pendamping hidup warga etnis Madura pelaku perkawinan
usia dini menggunakan BM. BM yang digunakan adalah BM ragam ngoko (E-I),
ragam karma (E-E dan E-B). Mereka rnenggunakan BM ragam ngoko jika mereka
sama-sama berasal dari keluarga biasa. Jika mereka berasal dari keluarga santri
mereka cenderung menggunakan BM ragam E-E dan E-B.
Dalam mengobrol dengan orang tua (ayah dan ibu) warga kelompok etnis Madura
pelaku perkawinan usia dini di Jember, Bondowoso, dan Situbondo ada yang
menggunakan BM ragam E-I, ada yang menggunakan BM ragam E-E dan BM ragam
E-B. Penggunaan BM ragam E-I biasa digunakan oleh mereka yang berstatus sosial
biasa atau rendah, sedangkan untuk mereka yang berstatus sosial sedang dan tinggi
cenderung menggunakan BM ragam E-E atau E-8.
Collections
- LRR-Hibah Fundamental [144]