Show simple item record

dc.contributor.authorRita Indriani
dc.date.accessioned2014-01-28T02:44:28Z
dc.date.available2014-01-28T02:44:28Z
dc.date.issued2014-01-28
dc.identifier.nimNIM060110301025
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/26061
dc.description.abstractPada periode kepemimpinan Perdana Menteri John Howard di Australia tahun 1996 - 2007, hubungan polit ik bilateral dengan Indonesia pada kenyataannya t idak sebaik hubungan polit ik bilateral saat Austalia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Paul Keating tahun 1991 - 1996. Berdasarkan pemahaman terhadap kasus pasang surut hubungan bilateral Australia – Indonesia antara tahun 1996 – 2007, diperoleh keterangan jelas tentang adanya reaksi-reaksi dari dua negara terkait isu-isu sensit if. Selain itu, juga dapat diperhatikan bahwa Australia memainkan peranan yang sangat besar dalam menentukan arah dan nasib hubungan bilateral. Hal tersebut diindikasikan dengan adanya perubahan-perubahan kebijakan Australia terhadap Indonesia selama kurun waktu tersebut. Perubahan sikap dan kebijakan Australia terhadap Indonesia dirasakan pertama kali saat Indonesia menjadi negara yang terpuruk karena krisis, yakni dengan keterlibatannya dalam permasalahan TimorTimur pada tahun 1999. Kebijakan Perdana Menteri John Howard tentang TimorTimur itu ironis dengan sikapnya sebelum I ndonesia terkena dampak krisis, yang saat itu dirinya sering menghindari wacana tentang Timor-Timur. Pada masa selanjutnya, hubungan bilateral ibarat terkena penyakit kronis. Sekalipun ada upaya normaslisasi dan sekalipun hubungan bilateral t idak selalu dalam situasi buruk, antara kedua negara masih sering diliputi sikap saling curiga. Di samping itu, kedua negara pada akhirnya juga terkesan sering membenarkan pandangannya masing-masing. Isu-isu terkait kedua negara menjadi lebih sensit if karena sulit nya t imbul persepsi yang sama antara kedua negara. Apalagi, pihak yang sering berbenturan t idak hanya pada tataran pemerintah, tetapi juga antara publik dan pemerintah, bahkan antara sesama publik. Hanya dengan adanya tuntutan kebutuhan bersama, kedua negara menjadi inseparable partner atau mitra yang tak terpisahkan, seperti dalam kasus memerangi terorisme bersama. Namun tetap saja hingga kedua negara tidak mempunyai ikatan melalui perjanjian yang menjamin kepent ingan bersama, sikap saling curiga pada kenyataannya bukan hal yang asing bagi keduanya. Dalam kasus hubungan bilateral Australia – Indonesia, sikap dan kebijakan luar negeri Australia sudah jelas merupakan faktor utama dalam mempengaruhi baik tidaknya hubungan bilateral. Bukan dari Indonesia, karena pada kenyataannya Indonesia sedang terus memperbaiki kondisi domestiknya pasca krisis, sehingga pandangan ke luar tidak seoptimal Australia. Lagipula, Indonesia terlihat tidak terlalu memusingkan Australia seperti Australia memusingkan Indonesia. Kebijakan pemerintah Australia terhadap Indonesia, khususnya terkait dengan isu-isu bersama akhirnya dapat diterjemahkan sebagai kebijakan dalam bentuk yang oportunis, pragmatis dan konservatif. Kebijakan pemerintah Australia dikatakan oportunis karena pada dasarnya pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri John Howard tampak lihai memanfaatkan kesempatan yang bagus untuk meraih keuntungan terbaik bagi kepent ingan bangsanya. Ambil contoh dalam permasalahan Timor-Timur tahun 1999, Perdana Menteri John Howard memanfaatkan peluang krisis di Indonesia untuk mendukung referendum di Timor-Timur. Masih dalam sifat yang sama, Perdana Menteri John Howard juga memanfaatkan peluang gempa di Yogyakarta pada Mei 2006 untuk berkomunikasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah hubungan bilateral memburuk karena masalah pemberian visa perlindungan sementara kepada 42 warga Indonesia asal Papua oleh Departemen Imigrasi Australia. Secara lebih general, sikap oprtunis pemerintah Australia, khususnya Perdana Menteri John Howard, tampak jelas ketika akan menghadapi pemilihan umum federal. Berbagai opini dan tekanan publik di Australia tampak dimanfaatkan dengan baik oleh Perdana Menteri John Howard untuk meningkatkan popularitasnya. Sekalipun harus merubah haluan kebijakan luar negeri dengan bersikap t idak bersahabat terhadap Indonesia, Perdana Menteri John Howard tetap melakukannya demi mempertahankan kekuasaannya. Seperti saat menghadapi pemilihan umum tahun 2001, pemerintah Australia mengubah kebijakannya tentang imigran gelap dengan menolak mereka memasuki wilayah Australia. Kemudian saat menghadapi pemilihan federal tahun 2004, Perdana Menteri John Howard mengemukakan gagasan pre-emptive strike atau serangan mendahului terhadap teroris di negaranegara Asia Tenggara. Selanjutnya pemerintah Australia dianggap pragmatis, karena pemerintah Australia tampak menganut pandangan yang selalu membenarkan kebijakannya dengan didasarkan bukti-bukti mendukung, serta berorientasi pada adanya manfaat praktis untuk negaranya. Dalam permasalahan Timor-Timur sikap tersebut juga tampak. Contoh lainnya tampak dalam kasus imigran gelap tahun 2001. Pemerintah Australia menolak dengan keras imigran gelap dari Timur Tengah yang berupaya memasuki wilayah Australia untuk mencari suaka polit ik. Di tengah penolakan itu, pemerintah Australia, khususnya Perdana Menteri John Howard justru melakukan diplomasi megafon dengan menyatakan bahwa masalah tersebut adalah tanggung jawab Indonesia dan Norwegia. Dalam persoalan itu, pemerintah Australia jelas bersikap pragmatis dan seolah t idak ingin menerima kerugian dan dampak sosial lebih jauh untuk negaranya. Sikap pragmatis pemerintah Australia juga tampak saat menanggapi permasalahan terorisme. Demi menciptakan keamanan di kawasan, khususnya di negaranya, pemerintah Australia merasa perlu untuk memerangi terorisme secara bersama. Demikian juga dalam masalah pemberian visa sementara terhdap 42 warga Papua, sikap pragmatis pemerintah Australia masih tampak. Sekalipun jelas mengetahui kalau pemberian visa sementara akan menyinggung Indonesia, pemerintah Australia tetap bersikukuh membenarkan kebijakan tersebut demi alasan menjalankan amanat konvensi PBB tahun 1951. Padahal pada kasus imigran gelap tahun 2001, pemerintah Australia justru berani melanggarnya. Selanjutnya, termasuk dalam permaslaahan nelayan tradisional, pemerintah Australia juga bersikap pragmatis. Demi kedaulatan negara seutuhnya, pemerintah Australia berupaya menekan dan seolah t idak memberi kesempatan nelayan tradisional Indonesia untuk memasuki perairan utara Australia sekalipun berdasarkan fakta historis, nelayan tradisional secara turun menurun telah melaukan akt ifitas kelautan di perairan Australia serta berdasarkan MoU BOX 1974,en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries060110301025;
dc.subjectHUBUNGAN POLITIK AUSTRALIA – INDONESIAen_US
dc.titlePASANG SURUT HUBUNGAN POLITIK AUSTRALIA – INDONESIA PADA TAHUN 1996 – 2007en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record