Show simple item record

dc.contributor.authorYULI ASTANTI
dc.date.accessioned2013-12-02T11:08:36Z
dc.date.available2013-12-02T11:08:36Z
dc.date.issued2013-12-02
dc.identifier.nimNIM030110301093
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/2516
dc.description.abstractMengamati gerakan protes petani delapan desa terhadap proyek pembangunan waduk Nipah yang sudah dijelaskan dalam bab-bab terdahulu dapat ditarik kesimpulan bahwa ikatan emosional penduduk delapan desa dengan tanah yang dimilikinya masih begitu kuat, sehingga ketika pemerintah ingin mewujudkan pembangunan waduk mendapat tentangan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan di atas tanah-tanah milik penduduk yang hendak dijadikan waduk banyak terdapat kuburan-kuburan leluhur mereka yang sudah meninggal. Kondisi ini semakin diperparah oleh ketidakmengertian aparat pemerintah terhadap budaya masyarakat Madura, terutama penduduk delapan desa. Hal-hal sensitif yang bersentuhan dengan ego atau harga diri masyarakat Madura seringkali dilanggar. Kiai, makam (buju’), tanah, dan agama adalah bagian dari harga diri orang Madura yang mereka pertahankan. Ketika orang luar sengaja atau tidak disengaja menyentuh permasalahan ini, maka masyarakat Madura akan menujukkan sikap penentangan. Tidak peduli apakah yang melecehkan itu mempunyai posisi dalam struktur pemerintah atau tidak, masyarakat Madura akan tetap menentang. Akan tetapi, kalau kita lihat dari penjelasan dan uraian dalam bab 3 gerakan protes petani pemilik tanah delapan desa terhadap rencana pembangunan waduk Nipah tidak serta merta dilakukan oleh mereka. Ini diawali sikap Tim pengukur tanah dari Badan Pertanahan Nasional yang kurang berkenan dalam norma petani pemilik pada saat membebaskan tanah untuk pembangunan waduk. Dengan seenaknya Tim pengukur tanah memasang patok-patok merah guna menunjukkan batas-batas rencana pembangunan waduk di atas lahan petani tanpa meminta ijin pemiliknya. Ketika proses pengukuran tanah berjalan tersendatsendat bupati Sampang memberikan intruksi pada Polres dan Koramil untuk mendampingi Tim pengukur tanah dalam pelaksanaannya. Akibatnya penduduk petani delapan desa menjadi resah. Mereka merasa khawatir aparat keamanan dari Polsek dan Koramil akan melakukan tindak kekerasan dalam proses pengukuran tanah jika penduduk tidak mau diukur tanahnya. Keresahan penduduk delapan desa semakin meningkat ketika, beberapa tokoh mereka ditangkap dan di bawa ke Koramil, dan pada saat penangkapan tersebut kepala desa memaksa penduduk delapan desa untuk menandatangani surat yang menurut mereka berisi pernyataan bahwa jika mereka menandatangani surat ini, maka pengukuran tanah akan dihentikan. Akan tetapi, setelah penduduk memberikan tanda tangan, beberapa hari kemudian Tim pengukur tanah dengan didampingi oleh aparat Polsek dan Koramil kembali lagi melakukan pengukuran di atas lahan penduduk, dan ternyata surat yang sudah ditandatangani oleh penduduk tersebut berisikan persetujuan bahwa penduduk tidak merasa keberatan tanahnya diukur. Hal ini ditambah lagi adanya ancaman dari kepala desa bahwa siapa saja yang tidak mau tanahnya diukur akan dihukum.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries030110301093;
dc.subjectPERLAWANAN PETANI, RENCANA PEMBANGUNAN WADUK NIPAHen_US
dc.titlePERLAWANAN PETANI TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN WADUK NIPAH DI KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA TAHUN 1993en_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record