dc.description.abstract | Sepanjang 32 tahun Orde Baru di bawah kendali rezim Soeharto, memang
diakui keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan ekonomi dan
menciptakan kestabilan politik. Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam
melaksanakan pembangunan ekonomi telah memberikan perluasan kelas menengah
di Indonesia, menjamin distribusi pendapatan dan meningkatkan pendidikan
masyarakat Indonesia. Namun demikian, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur
Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental para pelaksana
pemerintahan (birokrasi), aparat keamanan, maupun pelaku ekonomi
(pengusaha/konglomerat). Klimaksnya adalah pada pertengahan tahun 1997, di mana
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat
dan pengusaha). Kondisi perekonomian bangsa Indonesia hancur berantakan diterpa
badai krisis moneter dan ekonomi yang akhirnya bermetamorfosis menjadi krisis
politik.
Implikasi krisis ekonomi dan moneter serta kegagalan pemerintah dalam
merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi pemerintah Soeharto
hancur berantakan. Bahkan lebih parah lagi, rezim ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat
untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi, dan akibatnya berbagai gerakan
delegitimasi Orde Baru bermunculan.
Akibat eskalasi gerakan delegitimasi menuntut Soeharto mengundurkan diri
semakin meluas, akhirnya, pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti
sebagai presiden, dan dengan menggunakan pasal 8 UUD 1945 Soeharto segera
mengatur Wakil Presiden B.J. Habibie disumpah sebagai penggantinya di hadapan
Mahkamah Agung, karena DPR tidak dapat berfungsi dan gedungnya diambil alih
oleh mahasiswa | en_US |