dc.description.abstract | Sastra lisan memiliki bermacam-macam bentuk, yakni cerita rakyat, mantra,
puisi, puji-pujian, syair, dan pantun. Ia merupakan warisan budaya nasional yang
patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa sekarang dan masa
yang akan datang, yakni dalam hubungannya dengan pembinaan apresiasi sastra.
Tradisi lisan telah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan dan pewarisan
tata nilai yang tumbuh di dalam masyarakat. Sastra lisan merupakan kesusatraan yang
mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan secara
turun temurun secara lisan, dari mulut ke mulut (Hutomo, 1991:1; lihat juga
Sukatman, 2009; dan Endraswara, 2006).
Sastra lisan termasuk bagian dari folklor. Potter (dalam Hutomo, 1991:1)
berpendapat bahwa folklor merupakan ‘a lively fossil which refuses to die’. Dengan
demikian, sastra lisan mengandung nilai-nilai budaya warisan nenek moyang. Dalam
konteks itu, sastra lisan dapat diparalelkan dengan karya tulisan tangan yang berasal
dari nenek moyang. Menurut Bachtiar (dalam Hutomo, 1991:1), karya-karya tulisan
yang ditinggalkan oleh nenek moyang dapat dipelajari untuk memperoleh gambaran,
meskipun tidak lengkap dan tidak pula menyeluruh, mengenai kebudayaan pada
waktu mereka hidup. Pengetahuan yang diperoleh dari karya-karya tulisan dan
naskah-naskah, dapat membantu peneliti dalam usaha mempelajari, mengetahui,
mengerti, kemudian menyajikan sejarah perkembangan bangsa. Hal tersebut
merupakan sumber yang tidak ternilai bagi pemahaman terhadap kebudayaan
Indonesia (Ikram dalam Hutomo, 1991:2; Thohir, 2007; Sutrisno & Hendar, 2005). | en_US |