dc.description.abstract | Dewa adalah anak yang menderita cacat tubuh berupa tunawicara, tunanetra
dan tunarungu atau disebut tunadaksa. Ia bertahan hidup hingga umur hampir
delapan tahun. Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan, sejak lahir Dewa
mengalami kelainan sistem peredaraan darah yang membuat tubuhnya tidak dapat
tumbuh dan berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Selain itu, Dewa
mengalami kerusakan jaringan otak.
Pada umur dua hari, Dewa diserahkan ke panti asuhan oleh orang tuanya.
Dewa bernasib bagus karena pada umumnya anak-anak tunadaksa, seperti Dewa,
dibuang oleh orang tuanya di sembarang tempat, seperti dibuang ke tong sampah,
dibuang ke sungai atau ditinggalkan begitu saja di lapangan sepak bola. Di panti
asuhan, Dewa dirawat oleh seorang ibu asuh bernama Renjani.
Renjani adalah perempuan berumur 30 tahun yang telah meninggalkan kota
kelahirannya Jakarta untuk melupakan masa lalunya. Ia memiliki rumah warisan
bergaya Belanda yang dibangun tahun 1887. Rumah itu ia jadikan panti asuhan
untuk menampung dan merawat anak-anak tunadaksa yang dibuang oleh orang
tuanya. Panti asuhan tersebut bernama Rumah Asuh Ibu Sejati yang terletak di
daerah pengrajin perak bernama Kotagede di pinggiran kota Yogyakarta. Renjani
merawat anak-anak tunadaksa di panti asuhan bersama Mbak Wid dan para
perawat.
Mbak Wid adalah perempuan berumur 40 tahun. Ia merupakan dokter anak
di panti asuhan di waktu pagi hari dan peramal di waktu malam hari. Setiap hari
Mbak Wid menolong anak-anak tunadaksa di panti asuhan. Pengabdian Mbak
Wid dan Renjani kepada anak-anak tunadaksa membuat keduanya rela berkorban
untuk tidak menikah.
Setiap malam Renjani dan Dewa menemani Mbak Wid meramal kehidupan
anak-anak tunadaksa. Mbak Wid meramal di suatu ruang yang disebut ruang lilin.
Kartu ramalan Mbak Wid selalu mengarah pada kenyataan. Hal ini dibuktikan
dengan setiap kartu yang menandakan kematian, selalu ada bayi tunadaksa yang
meninggal.
Dewa mendapat kasih sayang lebih dari Renjani, sehingga ia dianggap
sebagai anak kandung oleh Renjani. Kasih sayang itu berupa perhatian seperti
selalu bercerita tentang kehidupan dan sering mengajak Dewa bepergian. Dengan
kasih sayang dan kesabaran, Renjani melatih Dewa merasakan kehidupan. Kasih
sayang dari Renjani juga dirasakan oleh anak-anak tunadaksa lainnya. Hal ini
tampak pada tindakan Renjani yang menyediakan tempat untuk menampung dan
merawat anak-anak tunadaksa. Selain itu, Renjani juga menyediakan tanah untuk
makam bayi-bayi tunadaksa yang meninggal.
Renjani selalu berbagi pengalaman dengan Mbak Wid. Salah satu
pengalaman yang tidak dapat dilupakan Renjani adalah ketika ia diperkosa oleh
guru tarinya. Ketika muda, Renjani bercita-cita menjadi penari balet. Ia belajar
tari balet dengan tekun untuk mewujudkan cita-citanya, tetapi cita-cita itu gagal
setelah ia diperkosa oleh guru tarinya. Akibat pemerkosaan itu, Renjani hamil dan
berusaha menggugurkan kandungannya untuk menutupi aib. Ia mengalami trauma
berat akibat peristiwa tersebut.
Mbak Wid juga mengalami masa lalu yang suram. Ketika kecil, Mbak Wid
tidak mengetahui perbuatan yang dilakukan ibunya. Ibu Mbak Wid bekerja
sebagai pelacur, yang selalu berganti-ganti teman laki-laki. Selain itu, ibunya
sering hamil dan selalu menggugurkan kandungannya. Setelah Mbak Wid dapat
membaca, ia mulai mengerti perbuatan yang dilakukan ibunya. Mbak Wid merasa
sakit hati karena salah satu tamu ibunya mengolok perbuatan ibunya seperti
Gandari, salah satu tokoh pewayangan Mahabharata. Atas peristiwa itu, Mbak
Wid bersumpah pada diri sendiri untuk menjadi dokter anak. Dengan menjadi
dokter anak, ia ingin menolong anak-anak dan tindakannya ini sebagai baktinya
kepada ibunya yang telah berkorban dengan penuh kasih sayang untuk
membesarkannya.
Suatu hari, Renjani yang dulu pernah bercita-cita menjadi seorang penari
balet, menemukan sepatu baletnya. Dipakainya sepatu itu dan ia menari untuk
Dewa. Dewa mendadak mengangkat kepalanya, untuk yang pertama kalinya.
Berpikir bahwa musik dan tari kemungkinan adalah terapi yang tepat untuk Dewa,
Renjani kemudian mengajak Dewa menonton sebuah resital biola. Di acara itu
Renjani dan Dewa berkenalan dengan Bhisma, salah satu pemain biola yang
berstatus mahasiswa jurusan musik, berumur 22 tahun.
Perkenalan antara Renjani, Dewa dan Bhisma membentuk jalinan
persahabatan dan konflik. Perkenalan tersebut membuat Bhisma mengetahui dunia
anak-anak tunadaksa di panti asuhan. Bhisma mengagumi Renjani yang begitu
mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak tunadaksa yang telah dibuang oleh
orang tuanya. Bhisma melihat Dewa dan bayi-bayi cacat lainnya sebagai ciptaan
Tuhan yang indah, tetapi tidak diberkati dengan kehidupan yang berguna. Seperti
sebuah biola yang tidak ada dawai-dawainya.
Bhisma sering berkunjung ke panti asuhan. Hal ini seperti yang ia lakukan
pada saat ulang tahun Dewa. Bhisma ikut merayakan ulang tahun Dewa yang ke
delapan bersama Renjani, Mbak Wid dan para perawat panti asuhan. Suatu ketika,
Bhisma memainkan biolanya, mengiringi Renjani yang menari balet. Untuk kedua
kalinya, Dewa mengangkat kepalanya. Peristiwa itu membuat Renjani dan Bhisma
bahagia dan tanpa sadar keduanya berpelukan. Tiba-tiba Renjani teringat masa
lalunya. Renjani segera melepaskan pelukan Bhisma dan mengusirnya.
Peristiwa itu membuat Bhisma tidak pernah datang ke panti asuhan. Dalam
kebimbangan Bhisma mengungkapkan perasaannya dengan menciptakan sebuah
lagu. Ia berhasil menciptakan lagu berjudul “Biola Tak Berdawai”. Lagu itu
ditujukannya untuk Renjani dan Dewa. Bhisma mengajak Renjani dan Dewa
melihat hasil karyanya dalam pertunjukkan resital biola, namun Renjani dan Dewa
tidak hadir dalam pertunjukkan biolanya.
Ketidakhadiran Renjani tersebut disebabkan Renjani mengalami rasa sakit
karena kanker rahim yang telah menyebar di dalam tubuhnya. Akibat penyakit
tersebut, Renjani jatuh sakit dan meninggal. Bhisma yang mencoba mencari tahu
penyebab ketidakhadiran Renjani di panti asuhan, hanya bertemu dengan Mbak
Wid. Secara tidak langsung Mbak Wid memberitahu Bhisma, bahwa Renjani telah
meninggal karena kanker rahim.
Kehidupan panti asuhan sepeninggal Renjani tidak mengalami perubahan,
perubahan hanya dialami oleh Dewa. Dewa merasa kesepian setelah kematian
Renjani, karena ia kehilangan kasih sayang dari ibu asuhnya. Kesepian juga
dialami Bhisma, karena ia merasa telah jatuh cinta kepada Renjani, tetapi ia belum
mengungkapkan perasaannya tersebut. Untuk mengenang pengabdian dan
pengorbanan Renjani, Bhisma mengajak Dewa ke makam Renjani. Bhisma
menyanyikan lagu ciptaannya di atas makam Renjani. Secara tidak langsung
permainan biola Bhisma membuat Dewa mengangkat kepala dan mengucapkan
beberapa kata. Peristiwa itu membuat Bhisma bahagia | en_US |