dc.description.abstract | Moringa gum merupakan polimer alami yang diperoleh dari tanaman
Moringa oleifera atau kelor. Moringa gum yang termasuk polimer alam dengan
kelebihan seperti biokompabilitas, biodegradabilitas, dan ketersediaannya
melimpah di Indonesia karena mudah dijumpai seperti bagian daunnya
dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan obat (Saputra dkk., 2020) serta non-toksik
(Panda dan Ansari, 2013). Moringa gum telah diaplikasikan pada bidang farmasi
sebagai stabilizer, binder, disintegran, dan sebagai komponen dalam matriks
sediaan pelepasan terkontrol dan tertunda (Sonika dkk., 2020). Moringa Gum
mengandung polyuronide memiliki gugus fungsi hidroksil di rantai samping
polimer yang bisa berikatan dengan mucus membentuk ikatan sementara
menandakan bahwa adanya potensi sebagai agen mucoadhesive (Grewal dkk.,
2019). Namun, penelitian (Panda dkk., 2008) menunjukkan bahwa film yang terbuat
dari hanya moringa gum sebagai polimer utama memiliki sifat fisik yang kurang
memuaskan ditandai dengan tensile strength dan ketahanan lipat yang lebih rendah
daripada film pada umumnya (Jacob dkk., 2021). Oleh karena itu ditambahkan
dengan polimer yang dapat membentuk film yang memiliki sifat fisik yang baik
seperti hidroksi propil metil selulosa (HPMC). HPMC dapat membentuk sebuah
film yang bersifat sifat kuat, transparan, dan fleksibel (Zubaydah dan Sahumena,
2021). Selain itu, HPMC sebagai polimer yang bersifat hidrofilik memiliki
kemampuan mucoadhesive (Goswami dkk., 2012). HPMC bersifat non-toksik dan
non-iritasi yang dikategorikan sebagai “Generally Recognized as Safe (GRAS)”
serta memiliki kemampuan untuk mengendalikan pelepasan obat dalam sistem
penghantaran dengan cara memperlambat pelepasan obat dengan kenaikan
konsentrasi (Srisuntorn dkk., 2018)(Okeke dan Boateng, 2016). Namun, jumlah
HPMC dalam mucoadhesive buccal film perlu diperhatikan karena jumlah HPMC
yang terlalu tinggi dapat meningkatkan peristiwa erosi sehingga terjadi penurunan
kemampuan mucoadhesive (Kumria dkk., 2016). Oleh karena itu dilakukan
optimasi dalam jumlah moringa gum dan HPMC dalam sediaan mucoadhesive
buccal film sehingga dihasilkan sediaan yang memenuhi persyaratan film pada
umumnya dan memiliki kemampuan mucoadhesive paling baik.
Optimasi dilakukan dengan metode desain faktorial pada konsentrasi
moringa gum dan HPMC. Optimasi dilakukan karena karakteristik film yang
terbentuk seperti pH permukaan, swelling index, dan waktu tinggal mucoadhesive
dipengaruhi oleh jumlah polimer serta dilakukan pengujian karakteristik untuk
mengetahui kemampuan sediaan sebagai film pada umumnya. Evaluasi pelepasan
obat dilakukan dengan obat model berupa diltiazem HCl. Diltiazem HCl merupakan
obat yang dapat mengalami first-pass metabolism dan waktu paruh pendek
sehingga cocok untuk penghantaran melalui buccal.
Hasil pengujian pH permukaan didapat nilai F1, FA, FB, dan FAB berturutturut 6,347±0,070; 6,157±0,064; 5,803±0,10; dan 6,193±0,067. Hasil pengujian
swelling index didapat nilai F1, FA, FB, dan FAB berturut-turut 6,711 ± 0,056;
8,658 ± 0,171; 7,031 ± 0,134; dan 9,586 ± 0,119. Hasil pengujian waktu tinggal
mucoadhesive in-vitro didapat nilai (dalam menit) F1, FA, FB, dan FAB berturutturut 488,00 ± 4,36; 463,67 ± 3,51; 505,67 ± 4,51; 481,67 ± 4,51. Hasil respons pH
permukaan, swelling index, dan waktu tinggal mucoadhesive in-vitro dianalisis
menggunakan Design Expert 13.00. Didapat 5 solusi dan dipilih FB sebagai
formula optimum dengan nilai desirability tertinggi. Verifikasi formula
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara hasil respons observasi dan
prediksi (signifikasi p>0,05). Hasil FTIR menunjukkan tidak adanya interaksi
antara diltiazem HCl dengan eksipien lain dalam mucoadhesive buccal film. Model
pelepasan sediaan mengikuti model Higuchi dengan pelepasan sebesar 82,197%
pada menit ke-480. | en_US |