dc.description.abstract | Material konvensional seperti baja dan kayu memainkan peran penting dalam
pembuatan kapal. Dengan berkembangnya dunia maritim saat ini, kebutuhan akan
material konvosional seperti baja dan kayu semakin meningkat untuk memenuhi
kebutuhan material dalam pembuatan kapal. Oleh karena itu, selain menggunakan
baja dan kayu sebagai bahan baku, perlu juga dikembangkan material untuk
pembuatan kapal. Seperti diketahui saat ini banyak kapal khususnya kapal yang
sudah menggunakan bahan baku komposit fiberglass. Namun kekurangan dari
bahan fiberglass adalah kurang ramah lingkungan karena tidak dapat terurai secara
alami saat didaur ulang. Kapal fiberglass lebih sulit dikendalikan dibandingkan
kapal kayu. Pengembangkan material komposit saat ini dilakukan untuk
menemukan alternatif pengganti serat sintetis sebagai serat penguat komposit. Serat
sintetis dapat digantikan menggunakan serat alam salah satunya adalah serat bambu
petung (Dendrocalamus asper). Penelitian ini bertujuan untuk mengisi
kesenjangan pengetahuan terkait potensi dan kekuatan serat bambu sebagai bahan
utama dalam pembuatan kapal, yang diharapkan penelitian ini dapat memberikan
kontribusi pada pengembangan solusi konstruksi kapal yang berkelanjutan.
Pentingnya mencari alternatif bahan juga memberikan peluang baru bagi
pengembangan teknologi konstruksi kapal yang berkelanjutan dan efisien.
Dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2024 – Oktober 2024 dan
dilakukan pada 3 laboratorium berbeda yakni, Lab. Hidrodinamika, Fakultas
Teknik, Universitas Jember; Lab. Pengujian Bahan, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA,Universitas Jember; dan Lab. Uji Material, Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Jember.
Pembuatan material komposit berpenguat serat anyaman bambu petung ini
menggunakan metode vacuum infusion dengan perlakuan alkali NaOH 6% selama
1 jam dan variasi arah serat 30o
, 45o
, 60o
yang masing-masing berlapis 4 layer, dan
dilakukan pengujian bending serta pengamatan SEM dan fotomikro. Dari hasil
penelitian ini diketahui bahwa perbedaan orientasi serat pada komposit yang
menggunakan serat anyaman bambu petung dapat mempengaruhi nilai kuat
bending, dan modulus elastisitas bending. Serat pada masing-masing arah
mempunyai ikatan yang berbeda-beda menyebabkan faktor tidak seragamnya
proses penempatan serat sehingga mengakibatkan serat tidak merata dan matriks
tidak mengikat serat secara optimal sehingga menghasilkan nilai berbeda-beda
juga. Dalam pengujian bending pada arah serat 30o
didapatkan nilai tertinggi
sebesar 58,35 MPa, sedangkan nilai terendah didapatkan sebesar 56,39 MPa, dan
didapatkan nilai rata-rata adalah 57,32 MPa, serta didapatkan nilai modulus
elastisitas sebesar 2147,62 MPa. Dalam pengujian bending pada arah serat 45o
didapatkan nilai tertinggi sebesar 85,34 MPa, sedangkan nilai terendah didapatkan
sebesar 83,74 MPa, dan didapatkan nilai rata-rata adalah 84,54 MPa, serta
didapatkan nilai modulus elastisitas sebesar 2917,20 MPa. Dalam pengujian
bending arah serat 90o
didapatkan nilai tertinggi sebesar 130,25 MPa, sedangkan
nilai terendah didapatkan sebesar 128,37 MPa, dan didapatkan nilai rata-rata adalah
129,35 MPa, serta didapatkan nilai modulus elastisitas sebesar 4581,39 MPa.
Dengan hasil tersebut maka, penelitian arah serat anyaman bambu petung dengan
metode vacuum infusion belum memenuhi standar BKI yang telah ditentukan
sebesar 150 MPa, sehingga dapat disimpulkan bahwa material komposit berpenguat
serat bambu petung tidak layak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kapal
pengganti bahan fiberglass. Meski begitu, berdasarkan ketentuan Biro Klasifikasi
Indonesia dalam Buku Peraturan Klasifikasi dan Konstruksi Kapal Laut (Kapal
Kayu) Tahun1996, penelitian serat anyaman bambu petung dengan metode vacuum
infusion arah serat 90° dapat memenuhi pada semua golongan kelas kuat, arah serat 45° memenuhi pada kelas kuat II, sedangkan arah serat 30° memenuhi pada kelas
kuat III. Pada pengamatan SEM dapat mengetahui penyebaran resin, dimana tidak
terjadi menumpukan pada salah satu bagiannya, namun masih terdapat celah pada
area tertentu yang tidak dialiri oleh resin. Sedangkan hasil pengamatan fotomikro
menunjukkan bahwa bentuk patahan yang terjadi adalah fiber pull out, dimana
kegagalan material ini disebabkan karena ketidakmaksimalan matriks dalam
mengikat serat. | en_US |