Magisme Using Dan Tengger : Konstruksi Magisme Dalam Konteks Kearifan Lokal Dan Fungsi Kultural
Abstract
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku yang memanfaatkan kekuatan magis secara umum dipersepsi sebagai tindakan yang destruktif. Wilayah yang masyarakatnya kental dengan nuansa magis di antaranya adalah Jawa Timur, khususnya masyarakat Using dan Tengger. Belum banyak penelitian dengan fokus magisme (perilaku dengan kekuatan magis). Untuk itu, penelitian ini cukup signifikan karena akan menghasilkan pemahaman etnografis yang kontekstual dan komparatif tentang karakteristik dan penggunaan sarana magis pada masyarakat Using dan Tengger. Tujuan penelitian ini adalah mengkritisi sekaligus mendekonstruksi terhadap persepsi masyarakat atau common sense bahwa kekuatan magis bersifat destruktif, sekaligus ingin menunjukkan bahwa terdapat kelompok etnik di Jawa Timur yang menggunakan dan kekuatan magis/gaib/mistis secara konstruktif (bukan semata-mata destruktif).
Penelitian ini dilaksanakan di (1) Desa Rogojampi, Banyuwangi (masyarakat Using), dan (2) Desa Ngadas, Probolinggo (masyarakat Tengger). Penelitian ini merupakan penelitian tahun pertama dari rentang waktu dua tahun yang direncanakan. Metode penelitian menggunakan metode etnografi, khususnya perspektif emik, yakni metode yang memandang fenomena sosial budaya atas dasar sudut pandang masyarakat yang menjadi objek penelitian. Metode ini juga bersifat holistik-integratif yang bertujuan untuk mendapatkan data-data atas dasar native’s point of view. Data dikumpulkan dengan teknik observasi partisipasi, wawancara terbuka-mendalam, dan studi pustaka. Teknik observasi partisipasi digunakan untuk memperoleh data pengalaman empiris berbagai perilaku budaya masyarakat Using dan Tengger, khususnya yang terkait dengan penggunaan mantra, kekuatan gaib, dan praktik dukun dalam kehidupan sehari-hari. Teknik wawancara terbuka dan mendalam digunakan untuk memperoleh data pemahaman dan persepsi masyarakat Using dan Tengger tentang sistem perilaku budaya yang mereka anut, khususnya terkait dengan fungsi sosial dan kultural kekuatan magis, mantra, dan hal-hal gaib. Teknik studi kepustakaan digunakan untuk menggali data historis. Data tersebut kemudian diklasifikasi dan ditafsirkan dalam analisis data, yakni analisis kultural. Analisis kultural berupaya memaknai berbagai fenomena, baik secara mandiri maupun dalam relasi dengan fenomena lain dalam konteks kebudayaan Using dan Tengger, guna menemukan keutuhan struktural yang merefleksikan ideologi kultural mereka. Mengingat terdapat dua konteks budaya yang dikaji, maka analisis juga mengkomparasikan pemanfaatan dimensi magis dari kedua konteks budaya tersebut. Hasil analisis dideskripsikan dalam bentuk laporan penelitian, artikel ilmiah, dan bahan ajar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok etnik Using dan Tengger menganut atau mempercayai adanya hal-hal yang berdimensi magis, mistis, gaib, dan semacamnya. Setidaknya hal tersebut merupakan residu yang masih tersisa dalam benak masyarakat tradisional dan masih mempengaruhi pola kehidupan sosial budaya mereka, meskipun di sisi lain mereka juga telah mengadopsi pola kehidupan yang diwarnai modernitas. Kedua wilayah tersebut merupakan sebagian dari wilayah di Nusantara yang dikenal masih lekat dengan nuansa magis atau mistis, meskipun karakteristik dan orientasi kosmologisnya berbeda. Khazanah budaya dan kearifan lokal Using dan Tengger yang berupa kepercayaan terhadap kekuatan dan fenomena mistis atau hal-hal yang terkait dengan magisme merupakan refleksi dari nilai-nilai lokalitas dan peradaban kultural. Karakteristik budaya Using yang egaliter dan bernuansakan kultur pinggiran, berimplikasi pada kepercayaan yang cukup kuat terhadap mantra. Hal tersebut direpresentasikan oleh kelompok sosial abangan. Karakteristik mantra atau magi yang mereka percayai bermuara pada mantra pengasihan (santet), penyembuhan, dan sihir. Sementara itu, untuk masyarakat Tengger, mantra merupakan representasi dari doa. Bagi mereka yang memiliki kultur bukit tersebut, mantra dan semacamnya merupakan subkultur religiusitas yang kepemilikannya dikuasai oleh ketua adat (dukun). Kultur Tengger memaknai dukun sebagai ujung tombak representasi religiusitas masyarakat Tengger. Oleh karena itu, praktik penggunaan mantra dalam masyarakat Using bersifat konstruktif dan destruktif, sedangkan dalam masyarakat Tengger hanya bersifat konstruktif. Dalam konteks yang demikian, kosmologi budaya meletakkan nilai-nilai dan norma-norma menjiwai berlakunya konvensi lokal, sehingga harmoni dapat digunakan sebagai model of (ius constitutum) ataupun sebagai model for (ius constituendum) dalam menjaga, mengembalikan, dan melestarikan alam dan ekosistemnya. Dengan demikian, harmoni di dalam alam, baik alam makrokosmos (jagad gedhe) maupun alam mikrokosmos (jagad cilik), niscaya tetap terjaga. Unsur-unsur kepercayaan terhadap hal-hal yang terkait dengan magisme dalam kehidupan masyarakat Using dan Tengger terjalin dalam sebuah sistem yang merupakan salah satu unsur kebudayaan yang telah lama dimilikinya. Hal ini karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan dan pedoman dalam kaitannya dengan Sang Pencipta atau Sang Penguasa yang ada di alam semesta. Sejalan dengan hal itu, sistem kepercayaan bagi masyarakat Using dan Tengger kadangkala juga berhubungan dengan norma, aturan, maupun larangan yang harus dilakukannya dalam kedudukan manusia sebagai ciptaan-Nya.
Kata Kunci : Magisme; Using; Tengger; kearifan lokal; konstruksi
Collections
- LRR-Hibah Fundamental [144]