Perempuan dalam Iklan Televisi Swasta di Indonesia Tahun 2002 - 2012
Abstract
Tulisan ini membahas tentang Perempuan dalam Iklan Televisi di Indonesia
Tahun 2002-2012. Adapun rumusan masalah pada penelitian ini yaitu (1) Apa yang
menjadi latar belakang munculnya perempuan dalam iklan televisi swasta di
Indonesia? (2) Bagaimana proses terjadinya iklan perempuan dalam televisi swasta
di Indonesia Tahun 2002-2012? (3) Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari
adanya iklan perempuan dalam televisi swasta di Indonesia?.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui penyebab utama penggunaan
iklan perempuan dalam iklan televisi di Indonesia, (2) Menjelaskan penyebab
terjadinya kasus iklan perempuan di televisi yang menyalahi etika dan peraturan,
(3) Mendeskripsikan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengatasi
kasus pelanggaran iklan perempuan yang menyalahi etika dan peraturan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi dan
teori yang digunakan adalah teori media massa yang dicetuskan oleh Hafied
Cangara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yaitu
heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.
Hasil penelitian ini mengenai eksploitasi perempuan dalam iklan yang
dimulai sejak zaman Hindia Belanda yaitu pada Tahun 1930. Dengan diberlakunya
sistem kebijakan liberalisasi dan swastanisasi perekonomian masa kolonial
Belanda, para perusahaan Belanda berlomba - lomba dalam mempromosikan
produk yang dikemas dalam sistem kolonialisme. Strategi periklanan dalam
mempromosikan produk perusahaan Belanda adalah dengan cara memakai tubuh
perempuan, baik sebagai model maupun ilustrasi melalui surat kabar. Hal tersebut
dapat dilihat pada iklan kecantikan, yang mampu memgkontruksi mengenai
perempuan yaitu harus perawataan tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki
mengikuti apa yang dipertunjukkan dalam setiap iklan surat kabar. Bukan hanya
iklan kecantikan, tetapi juga iklan bumbu-bumbu dapur seperti iklan jamu, mentega
dan lain-lain juga diperankan oleh perempuan. Pola periklanan seperti ini juga
memberikan konstruksi pemikiran masyarakat Hindia Belanda bahwa perempuan
hanya sebagai penopang wilayah domestik dan sebagai pelayan bagi laki-laki. iklan
Cravena dalam majalah Pandji Poestaka edisi tahun 1939, tokoh dalam iklan ini
tidak berbeda yaitu perempuan Belanda. Tetapi perbedaannya adalah Iklan ini
menggunakan Bahasa Jawa. Rokok yang biasanya dikonsumsi mayoritas bagi lakilaki, tetapi pada faktanya diiklankan oleh sosok perempuan dan tidak ada kaitannya
dengan rokok. Hal tersebut merupakan bentuk eksploitasi tubuh perempuan demi
mendapatkan keuntungan bagi perusahaan.
Pada masa pemerintahan kolonial Jepang sangat terkenal dengan perkataan
“Zaman Baru”. Semangat “Zaman Baru” yang merupakan prinsip kehidupan
dibawah kolonial Jepang, dengan cara menghapus segala sesuatu ‘berbau’ Barat.
Tidak hanya merusak berbagai bangunan simbol kekuasaan Barat, usaha ini mulamula dilakukan dengan membandingkan perempuan Amerika dengan perempuan
Jepang. Perempuan Jepang digambarkan sebagai perempuan berbudi halus dan
berbakti. Hal ini kontras dengan perempuan Amerika yang digambarkan bertabiat
buruk dan senantiasa menyengsarakan suami. Pada masa pemerintahan Jepang
memang banyak sekali iklan-iklan produk perempuan seperti bedak, sabun, alat
masak dan bumbu-bumbu dapur. Hal tersebut sesuai dengan prinsip pemerintahan
Jepang yang dikenal dengan sistem Le bahwa perempuan hanya berada di wilayah
domestik. Berbeda dengan iklan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, masa
pemerintahan kolonial Jepang lebih menggunakan figur pribumi dengan pakaian
khas budaya Indonesia. Hal tersebut merupakan upaya dari pemerintah kolonial
Jepang dalam menghilangkan budaya barat atau budaya pemerintahan Belanda.
Pada awal kemerdekaan Indonesia tahun 1950-an, media iklan pada tahun
tersebut adalah koran dan majalah. Pada tahun tersebut metode periklanan masih
meniru kolonial Belanda yang menjajah kurang lebih 350 tahun. Meskipun dijajah
oleh kolonial Jepang dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun, tetapi kontruksi
budaya orang-orang Belanda di Indonesia cukup melekat pada masyarakat
Indonesia. Peniruan tersebut dimaksudkan mengenai figur perempuan pribumi
yang mayoritas ditampilkan pada periklanan. Bukan hanya itu, wacana kecantikan
juga terjadi perubahan. Jika sebelumnya wacana kecantikan di identikkan dengan
perempuan dari ras kaukasoid, selanjutnya digantikan oleh sosok perempuan
berkebaya.
Pada masa transisi pemerintahan presiden Suharto menuju era reformasi,
tepatnya pada tahun 2002 terbentuklah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Pembentukan lembaga independen tersebut merupakan sebuah amanat atas
disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Adanya
KPI diharapkan mampu dalam mengatur segala kebijakan penyiaran di Indonesia
khususnya televisi agar dapat memberikan edukasi serta membangun bangsa yang
bermoral. Pada tahun 2004, KPI mengeluarkan produk kebijakan dalam mengatur
jalannya penyiaran di Indonesia yaitu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart
Program Siaran (P3SPS). Periode pertama terbentuknya KPI tahun 2003-2006
jumlah aduan masyarakat sebanyak 1.637 laporan. Namun hanya 57 aduan yang
ditangani oleh KPI. Dari total 1.637 laporan hanya 57 kasus yang memenuhi syarat
identifikasi oleh KPI Pusat. Bukan hanya itu, dari 10 iklan yang terkena KPI, 7
diantaranya merupakan iklan perempuan yang memaparkan sensualitasnya dan
berbau seksualitas. Namun pada periode pertama tersebut sanksi yang diberikan
hanya sebatas teguran atau peringatan terhadap stasiun televisi maupun perusahaan
Iklan karena pertelevisian dan periklanan Indonesia tengah mengalami era
modernisasi.
Pada periode selanjutnya tahun 2007-2010 jumlah pengaduan masyarakat
kepada KPI yang mengeluhkan tayangan bermasalah di televisi semakin
meningkat. Pada tahun 2009 saja, tidak kurang dari 8098 pengaduan yang diterima
KPI pusat, baik yang dilaporkan secara pribadi ataupun kelompok. Berbagai
keluhan yang disampaikan oleh masyarakat yang tidak puas dengan program
televisi Indonesia, ditindaklanjuti oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sesuai
wewenangnya dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, salah satu
tugas KPI adalah memantau seluruh isi siaran televisi untuk menjamin kualitas dan
tidak adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang Penyiaran, Peraturan
Pemerintah, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), dan Standar Program Siaran (SPS).
Sepanjang tahun 2009, KPI memberikan 123 teguran kepada stasiun televisi terkait
dengan pelanggaran yang dilakukan seperti iklan permen sukoka. Berdasarkan data
pengajuan dalam kurun waktu 6 tahun dalam 2 periode berdirinya KPI yang
semakin meningkat. Kemudian KPI pada tahun 2009 berinisiatif untuk menerbitkan
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart Program Siran (P3SPS) tahun 2009
sebagai pengganti Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart Program Siaran
(P3SPS) tahun 2004. Perbedaan yang paling strategis terdapat pada jenis sanksi
yang akan diterima jika melanggar P3SPS. Dari sebelumnya pada P3SPS tahun
2004 hanya sebatas teguran peringatan saja, tetapi pada P3SPS tahun 2009 terdapat
berbagai sanksi teguran seperti penghentian secara total iklan yang melanggar.