Praanggapan dalam Talk Show Kasih Paham Episode Pro-Kontra Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Abstract
Talk show Kasih Paham Episode Pro-Kontra Sistem Pemilu Proporsional Tertutup bertemakan politik, mendiskusikan isu wacana perubahan sistem pemilu 2024 yang akan datang. Acara ini mengundang pihak pro yang berasal dari fraksi PDIP, pihak kontra dari koalisi pemerintahan diwakili oleh fraksi Partai Golkar, pihak kontra non pemerintahan diwakili fraksi Partai Demokrat dan PKS, serta pengamat politik yang berasal dari Perludem dan Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi. Seorang politikus dalam bertutur biasanya berbeda dengan apa yang dimaksudkan, sehingga memunculkan praanggapan terhadap apa yang dituturkan. Praanggapan adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Penelitian ini membahas mengenai praanggapan terhadap percakapan antara pembawa acara dan narasumber dalam talk show Kasih Paham Episode Pro-Kontra Sistem Pemilu Proporsional Tertutup. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis-jenis praanggapan dan mendeskripsikan jenis-jenis praanggapan berdasarkan bentuk tuturan.
Penelitian ini berbasis teks dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Data penelitian ini berasal dari tuturan pembawa acara dan narasumber pada talk show Kasih Paham Episode Pro-Kontra Sistem Pemilu Proporsional Tertutup. Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode simak. Teknik sadap sebagai teknik dasar, sedangkan teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat sebagai teknik lanjutan. Penelitian ini menggunakan tiga tahap untuk menganalisis data, yakni mereduksi data, menganalisis dan menyajikan data, serta menarik kesimpulan.
Hasil penelitian yang diperoleh dari analisis data menunjukkan bahwa jenis-jenis praanggapan terdiri atas 10 jenis, yaitu: (1) praanggapan eksistensial menunjukkan eksistensi PDIP sebagai pendukung sistem proporsional tertutup berkontra dengan partai lain di parlemen; (2) praanggapan faktif mengidentifikasi sistem proporsional tertutup akan menciptakan anggota legislatif yang pro kepada elit partai; (3) praanggapan non faktif menduga tindakan sewenang-wenang pimpinan dalam pemberlakuan sistem proporsional tertutup; (4) praanggapan leksikal mengidentifikasi adanya kepentingan kelompok dalam wacana sistem pemilu proporsional tertutup; (5) praanggapan struktural mempertanyakan komitmen Partai Golkar terhadap isu sistem proporsional tertutup; (6) praanggapan konterfaktual mengidentifikasi pertentangan pemberlakuan sistem pemilu terhadap kualitas kader; (7) praanggapan iteratif menguraikan proses konsolidasi sistem proporsional setiap menjelang pemilu; (8) praanggapan implikatif mengungkap dampak pemberitaan isu sistem pemilu proporsional tertutup terhadap penggunaan hak suara dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden; (9) praanggapan klausa waktu mengungkap awal pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka; dan (10) cleft sentence mengidentifikasi kesamaan komitmen antara Partai Golkar dan Partai Demokrat terhadap penolakan sistem proporsional tertutup, meskipun keduanya sering kali berbeda pandangan. Praanggapan eksistensial menjadi jenis yang paling sering muncul. Sebab, pembahasan politik dengan sub tema wacana perubahan model sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup oleh para pelaku politik merupakan faktor munculnya entitas yang dipraanggapkan.
Bentuk tuturan jenis-jenis praanggapan yang ditemukan terdiri atas kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat seruan. Kalimat deklaratif yang ditemukan berupa kalimat deklaratif aktif, pasif, menyungguhkan, memungkinkan, ingkar, pengandaian, dan berlawanan. Kalimat interogatif yang ditemukan berupa kalimat interogatif meminta pengakuan dan menanyakan alasan, dilakukan oleh Pangeran Siahaan kepada Dave Akbarshah Fikarno terkait komitmen Partai Golkar dalam isu sistem pemilu proporsional tertutup. Kalimat seruan yang ditemukan berupa kalimat seruan menyatakan keheranan. Pangeran Siahaan heran terhadap pernyataan yang menimbulkan pertentangan terkait pemberlakuan sistem pemilu terbuka ataupun tertutup terhadap kualitas individu seorang kader, sedangkan kenyataannya selalu ada anggota legislatif dari berbagai partai politik terjerat kasus korupsi dalam model sistem pemilu yang pernah berlaku di Indonesia.