Show simple item record

dc.contributor.authorMUDLOFAR, Muhammad Syahrul
dc.date.accessioned2023-08-25T23:36:40Z
dc.date.available2023-08-25T23:36:40Z
dc.date.issued2022-12-14
dc.identifier.nim170110301017en_US
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/117732
dc.descriptionvalidasi_repo_firli_agustus_2023_21; Finalisasi oleh Taufik Tgl 26 Agustus 2023en_US
dc.description.abstractCultuurstelsel merupakan sistem yang muncul pada paruh pertama dekade 1830-an. Secara formal sistem ini bertujuan untuk meningkatkan gairah ekonomi dengan cara memperkenalkan tanaman komoditas ekspor kepada penduduk negeri jajahan yang dalam hal ini adalah Hindia Belanda. Pada praktiknya penyelenggaraan sistem tersebut jauh dari konsepnya, yakni menjadi sistem yang merombak realitas kultural petani Jawa yang telah ada sebelumnya sehingga terjadi beragam jenis anomali. Penanaman tebu dan industri gula dalam masa cultuurstelsel merupakan salah satu lini yang berpengaruh demikian besar terhadap realitas kultural petani Jawa, demikian juga bagi realitas kultural di Keresidenan Besuki. Gula merupakan produk olahan tanaman tebu dan menjadi salah satu komoditas ekspor kolonial. Tebu menjadi salah satu tanaman wajib pada masa Sistem Tanam Paksa. Sebelum Sistem Tanam Paksa diberlakukan industri tebu sejatinya telah berjalan di Jawa, namun dalam skala yang terbatas. Penanaman tebu (Suikercultuur) termasuk dalam Sistem Tanam Paksa berdasarkan resolusi Gubernur Jenderal tanggal 13 Agustus 1830. Praktik ini turut terjadi di Keresidenan Besuki dimana pada tahun 1830 telah terdapat 12 pabrik gula swasta, 8 diantaranya menandatangani kontrak pemerintah untuk terlibat dalam cultuurstelsel. Tujuan dari penelitian ini yaitu: (1) Untuk mengetahui kondisi masyarakat Keresidenan Besuki sebelum penyelenggaraan Tanam Paksa tebu pada masa Tanam Paksa. (2) Untuk mengetahui dinamika penyelenggaraan Tanam Paksa tebu di Keresidenan Besuki pada masa Tanam Paksa. (3) Untuk mengetahui dampak Tanam Paksa tebu di Keresidenan Besuki pada masa Tanam Paksa terhadap masyarakat. Bentang alam Keresidenan Besuki didominasi oleh pegunungan pada DIGITAL REPOSITORY UNIVERSITAS JEMBER DIGITAL REPOSITORY UNIVERSITAS JEMBER xxiii bagian tengahnya dan menjadi batas alami antar regentschap di wilayah tersebut. Tepat di arah timur Panarukan terdapat Gunung Baluran yang kering dan berbatu. Terdapat banyak sungai kecil yang bergabung menjadi satu dan menjadi beberapa aliran sungai besar dari dataran pegunungan ke daerah pesisir utara dan timur Keresidenan Besuki. Banyaknya jalinan aliran sungai ini berkontribusi terhadap kesuburan tanah di Keresidenan Besuki yang cocok untuk pertanian. Sampai akhir abad ke-18 Keresidenan Besuki awalnya dikenal sebagai Province Panarukan. Wilayah ini mulai dikuasai VOC pada tanggal 11 November 1743 setelah konflik panjang menurut perjanjian antara Gubernur Jenderal VOC, Van Imhoff, dengan Paku Buwono III dari Keraton Surakarta yang selanjutnya pada tahun 1770an disewakan kepada Orang Cina. Tuan tanah Cina terakhir wilayah Distrik Panarukan dan Distrik Besuki adalah Han Tjan Pit. Akibat penguasaan tuan tanah Cina ini, meskipun rencana pengembangan budidaya tebu di Oosthoek telah muncul sejak awal abad ke-19, Han Tjan Pit tidak memiliki ketertarikan mendalam terhadap industri gula sehingga perkembangan insutri gula di Keresidenan Besuki lebih lambat dibandingkan Keresidenan Pasuruan. Klasifikasi tanah di Keresidenan Besuki pada tahun 1830-1870 berdasarkan jenis kepemilikannya, yakni; (1) tanah milik perorangan atau properti pribadi; (2) tanah milik bersama atau komunal; (3) dan tanah bengkok untuk pamong desa. Secara adat tidak ditemukan jenis kepemilikan komunal di wilayah Keresidenan Besuki. Corak komunalisasi tanah muncul akibat sistem rotasi lahan yang terjadi secara berkala dalam 3-4 tahun sekali. Penanaman tebu biasanya dilakukan dalam kompleks tanah yang luas dengan cara menghimpun beberapa tanah sawah perorangan milik penduduk lalu tanah yang telah dihimpun digunakan untuk menanam tebu secara masal, praktik ini mengandung corak komunalisasi lahan. Komunalisasi tanah yang lebih nyata terjadi di Distrik Dringu dimana beberapa tanah milik perorangan dikelompokkan menjadi kring secara permanen. Industri gula di Jawa dalam kurun tahun 1830-1870, termasuk di Keresidenan Besuki, kebutuhan akan tenaga kerja awalnya disokong oleh pemerintah. Jenis pekerjaan pada industri gula cukup beragam dari masa tanam hingga pengolahan pasca panen. Jenis pekerjaan ini biasanya terdiri dari penanaman dan perawatan tebu, penebangan tebu, pekerjaan pabrik, pengangkutan ke gudang pemerintah dan pasokan kayu bakar, tanah liat, batu dan perlengkapan lainnya. Alasan penerimaan suikercultuur dalam sistem kerja masyarakat pedesaan berasal dari pola kekuasaan tradisional yang tetap dipertahankan dengan memulihkan prestise elite tradisional dan memperkuat kedudukan mereka. Praktik ini di Keresidenan Besuki terlihat pada mobilisasi tenaga kerja dalam industri tebu yang dibebankan kepada kepala desa melalui elite supradesa yang dibeli kesediannya melalui cultuurprocenten. Teknologi pengolahan gula di Keresidenan Besuki pada awalnya menggunakan perangkat tradisional berskala kecil. Pada tahun 1834 seluruh pabrik gula yang dikontrak pemerintah telah menggunakan mesin giling bertenaga air, sementara teknologi pengolahan tebu cair menggunakan cara tradisional cina. Pada tahun 1835 alat memasak tebu cair menggunakan vacuumpan (panci vakum) dikenalkan di Jawa, teknologi kadang disebut metode pengolahan gula sistem Howard. Pengembangan teknologi pengolahan gula pada gilirannya dilakukan secara bertahap. Cultuurprocenten dan peningkatan teknologi industri menyebabkan produktivitas tinggi merupakan sebab bertahannya industri gula pada masa Sistem Tanam Paksa tahun 1830-1870. Berkembangnya industri gula di Keresidenan Besuki pada masa Tanam Paksa merupakan bukti bahwa penanaman tebu di Keresidenan Besuki membawa cukup keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda. Pada masa Sistem Tanam Paksa, dominasi pola penguasaan tanah individu di Keresidenan Besuki juga menjadi sebab distribusi kemakmuran yang tidak merata. Menurut kebiasaan penduduk lahan yang ditanami tebu diberikan kompensasi dalam bentuk uang senilai setengah dari keuntungan produksi tebu kepada petani yang terlibat dalam kewajiban gouvernement-suikercultuur. Alihalih menerima kompensasi dalam bentuk lahan untuk menanam padi atau palawija, pengaruh uang telah merubah persepsi sosial masyarakat petani di Keresidenan Besuki. Bisnis-bisnis lain berkaitan dengan kebijakan penanaman wajib yang dapat melipatgandakan keuntungan juga bermunculan. Salah satunya adalah peluang bisnis yang disebabkan kebutuhan akan hewan transportasi dan hewan pembajak.en_US
dc.description.sponsorshipProf. Nawiyanto, M.A., Ph.D. ; Suharto, S.S., M.Aen_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Ilmu Budayaen_US
dc.subjectTANAM PAKSAen_US
dc.subjectTEBUen_US
dc.subjectSEJARAH KERASIDENAN BESUKIen_US
dc.subjectGOUVERNMENT-SUIKERCULTUURen_US
dc.titleSistem Tanam Paksa Tebu (Suikercultuur) di Keresidenan Besuki Tahun 1830-1870en_US
dc.typeSkripsien_US
dc.identifier.prodiIlmu Sejarahen_US
dc.identifier.pembimbing1Prof. Nawiyanto, M.A., Ph.D.en_US
dc.identifier.pembimbing2Suharto, S.S., M.Aen_US
dc.identifier.validatorvalidasi_repo_firli_agustus_2023_21en_US
dc.identifier.finalizationTaufiken_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record