Campur Kode dalam Tuturan Masyarakat Etnik Cina Benteng di Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang: Kajian Sosiolinguistik
Abstract
Campur kode adalah gejala kebahasaan masuknya unsur bahasa lain terhadap suatu bahasa akibat kontak bahasa. Gejala kebahasaan ini terjadi di Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang. Masyarakat etnik Cina Benteng yang tinggal di Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang menggunakan bahasa Indonesia dialek Cina Benteng yang tercampur dengan unsur bahasa Mandarin dialek Hokkian, bahasa Inggris, bahasa Sunda, dan bahasa Betawi saat berkomunikasi sehari-hari. Kini, bahasa Mandarin dialek Hokkian yang dahulu mereka gunakan sudah bergeser ke bahasa Indonesia dialek Cina Benteng karena adanya akulturasi dan adaptasi budaya lokal. Bahkan, logatnya sudah seperti masyarakat etnik Sunda pinggiran bercampur Betawi. Selain itu, masuknya unsur bahasa Inggris disebabkan oleh era globalisasi.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode dalam komunikasi sehari-hari pada tuturan masyarakat etnik Cina Benteng di Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode dan teknik penyediaan data menggunakan metode simak. Teknik sadap sebagai teknik dasar, sedangkan teknik simak libat cakap (SLC), teknik simak bebas libat cakap (SLBC), teknik rekam, dan teknik catat sebagai teknik lanjutan. Metode dan teknik analisis data menggunakan metode agih dan metode padan. Dalam metode agih, teknik bagi unsur langsung (BUL) sebagai teknik dasar, sedangkan teknik ganti sebagai teknik lanjutan. Metode ini digunakan untuk menentukan bentuk-bentuk campur kode. Dalam metode padan, teknik pilah unsur penentu (PUP) sebagai teknik dasar, sedangkan teknik hubung banding menyamakan (HBS) dan teknik hubung banding membedakan (HBB) sebagai teknik lanjutan. Metode ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode. Metode dan teknik penyajian hasil analisis data menggunakan metode penyajian informal.
Hasil penelitian yang diperoleh dari analisis data menunjukkan bahwa campur kode dalam penelitian ini terdiri atas dua bentuk, yaitu: (1) campur kode berupa kata; dan (2) campur kode berupa frasa, contohnya: tibra jasa [tibra jasa]. Campur kode berupa kata meliputi: (1) kata dasar, contohnya: ae [ae]; (2) kata berimbuhan, contohnya: ngedangdanin [ŋədaŋdanin]; dan (2) kata ulang, contohnya: follow-followin [fɔlou-fɔlouin]. Campur kode yang dituturkan oleh masyarakat etnik Cina Benteng ini memiliki ciri khas karena terjadi perubahan fonologis dan morfologis. Sebagai contoh, pada perubahan fonologis kata ngadangdanan menjadi ngedangdanin karena terjadi perubahan afiks dari asal bahasa Sunda menjadi afiks yang berasal dari bahasa Betawi, seperti nga- menjadi nge- dan -an menjadi -in. Perubahan ini terjadi pada kata berimbuhan dan penyebabnya pengaruh afiks dari bahasa Betawi. Pada perubahan morfologis, kata bae menjadi ae. Perubahan ini disebabkan oleh kata tersebut digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Selain itu, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode terdiri atas tiga faktor, yaitu: (1) faktor identifikasi peranan, contohnya: mah [mah] dari bahasa Sunda, ampe [ampe] dari bahasa Betawi, dan icing [iciIŋ] dari bahasa Mandarin dialek Hokkian yang menandakan bahwa mereka berasal dari etnik Cina Benteng di Desa Lebak Wangi; (2) faktor identifikasi ragam, contohnya: terdapat penggunaan bahasa Indonesia dialek Cina Benteng, bahasa Inggris booster [bUstər], bahasa Betawi ampe [ampe], dan bahasa Sunda keabonganlah [kəaboŋanlah] yang menandakan bahwa mereka memang memiliki kedudukan sosial yang sama; dan (3) faktor keinginan untuk menjelaskan/menafsirkan, contohnya: ngelel [ŋɛləl]. Di antara keempat masuknya campur kode dalam penelitian ini, unsur bahasa Sunda merupakan unsur yang paling banyak masuk. Masuknya unsur bahasa Mandarin dialek Hokkian terjadi saat membicarakan tentang hubungan kekeluargaan, nominal, kegiatan hari raya, dan ritual. Masuknya unsur bahasa Sunda terjadi saat mendeskripsikan sesuatu kegiatan, menunjukkan suatu kondisi, dan menyebutkan imbuhan penegas, sedangkan masuknya unsur bahasa Betawi terjadi saat menegaskan atau menunjukkan sesuatu dengan intonasi yang tinggi ketika berkomunikasi dengan keluarga maupun tetangga. Masuknya unsur bahasa Inggris terjadi saat anak muda menyebutkan penggunaan kata di internet atau media sosial.