Penggunaan Pupuk dan Pestisida Terhadap Kualitas Tanah dan Air Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Bedadung (Studi Kasus;Sub DAS Arjasa
Abstract
Konservasi tanah dan air merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya alam. Tanah dan air tidak bisa dipisahkan didalam pengelolaanya namun harus dilakukan upaya secara terpadu untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Tanah dan air sebagai komponen fisik dari suatu daerah aliran sungai (DAS). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2012 tentang pengelolaan daerah aliran sungai bahwa konservasi tanah dan air dilakukan dalam rangka pemeliharaan kelangsungan daerah tangkapan air (catchment area), menjaga kondisi hirdologis baik kualitas maupun kuantitas, kontinuitas, serta distribusi air.
Perkembangan kondisi daerah aliran sungai terutama bagian hulu sampai saat ini dapat dikakatakan dari tahun ke tahun semakin sedikit jumlah luasan tangkapan hujan. Indikator yang paling mudah untuk dilihat adalah perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi kawasan pertanian. Tingginya aktiivtas pertanian dikawasan hulu berdampak pada kualitas air mulai dari hulu sampai ke hilir. Aktivitas pertanian di kawasan hulu tidak lepas dari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Oleh karenanya dalam penggunaan secara massive dapat menyebabkan penurunan kualitas dan pencemaran pada tanah dan air. (Mardikaningtyas et al., 2016)(Munandar dan Eurika, 2016) pada komponen biotik tercemar logam berat Pb dan cd dengan konsentrasi 0,2653 ppm dan 0,172 ppm. Sedangkan untuk kualitas air diperoleh BOD 5,10 ml/l, COD 16,51 ml/l, DO 4,5 mg O2/l, pH 8,3, dan suhu 27-300C. Kusumandaru (2010) penurunan kualitas tanah di daerah hulu disebabkan oleh penggunaan kegiatan pemupukan dan aplikasi pestisida secara intensif.
Pertanian intensif dalam sepanjang perkembangan tidak direkomendasikan dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida dalam penggunaanya harus memenuhi standart baku penggunaan. Penggunaan melebihi dosis anjuran maka akan menyebabkan beberapa permasalahan yang dapat mempengaruhi kondisi tanaman dan pencemaran lingkungan. Penggunaan pupuk terutama pupuk anorganik menurut Fikri et al., (2014), apabila diaplikasikan terus menerus akan
menyebabkan perubahan struktur tanah, pemadatan, unsur hara dalam tanah menurun, serta pencemaran lignkungan. Selain itu juga akan menyebabkan akumulasi residu unsur hara makro seperti N, P, dan K dalam tanah akan mengalami peningkatan. Sedangkan penggunaan pestisida sintetis juga sangat berbahaya tidak hanya mencemari lingkungan namun berbahaya apabila terkontaminasi pada tubuh manusia. Menurut Al-Zaiidi 2011, senyawa aktif yang terkandung dalam insektisida masuk kedalam tanah dan dapat menurunkan mikrobia atau pengurai didalam tanah, kemudian senyawa aktif yang lain akan tercuci dan sisanya akan mengupa melepas ke udara. Tidak hanya didalam tanah, senyawa kimia yang dihasilkan pestisida juga dapat mencemari udara. Residu yang tersimpan apabila senyawa berbahaya masuk kedalam tubuh manusia, akan menimbulkan beberapa penyakit kronis seperti kanker, gangguan pencernaan, dan serangan jantung karena terjadi penyempitan pembulu darah akibat logam berat yang tidak bisa terurai (Anderson, 2012).
Penuruan kualitas tanah dan air di kawasan hulu diakibatkan oleh aktivitas bercocok tanam dengan penggunan pupuk dan pestisida tidak berdasarkan rekomendasi. Oleh karenanya akibat perubahan kawasan hutan berubah menjadi kawasan lahan sawah dan hortikultura mempengaruhi kondisi hidrologis dalam suatu DAS (Fikri et al., 2014; Bruijnzeel, 2018; dan Valentin et al., 2005). Sebagai gambaran dibeberapa lokasi yang tersebar di Indonesia, menurut Forest Watch Indonesia (2018) tahun 2013-2016 hutan alami di 3 propinsi seperti Sumatra, Kalimantan, dan Maluku hilangs sebanyak 718 hektar. Hal ini merupakan laju deforestasi sebesar 240 ribu hektar per tahun atau sebanding 20 hektar dalam setiap bulan. Pada tahun 2016, total luasan hutan alam di 3 propinsi tersebut hanya tersisa 9 hektar. Hutan alami berubah alih menjadi lahan pertani dan perkebunan sehingga dapat menurunkan keseimbangan lingkungan terutama catchment area.
Deforestasi pada hutan dapat mengakselerasi terjadinya degradasi lahan serta akan mendistorsi pada siklus air yang dapay mempengaruhi pada ketahanan pangan dan air. Deforestasi di Indonesia terjadi dari tahun ke tahun (pada gambar 1.1). Upaya-upaya untuk mengurangi laju deforestasi terus dilakukan untuk optimalisasi fungsi suatu kawasan tangkapan air. Degradasi lahan mendorong terjadinya erosi sehingga selain hilangnya ketersediaan unsur hara makro dan mikro juga berpotensi sebagai bencana.
Gambar 1.1 Perkembangan laju deforestasi hutan di Indonesia. Sumber: DITJEN PTKL (2018).
Daerah aliran sungai (DAS) Bedadung di kawasan hulu telah diidentifikasi oleh BPDAS-LH sebagai DAS yang berpotensi membawa dampak bencana tanah longsor (erosi). Potensi terjadinya erosi di DAS hulu Bedadung dipengaruhi oleh perubahan tutupan lahan. BPDAS-LH (2013) telah mencatat bahwa daerah kawasan hutan di hulu DAS Bedadung mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 2009 hutan lahan kering berjumlah 1.057,02 hektar dan naik menjadi 4.909,02 hektar pada tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2017 terjadi penurunan secara signifikan menjadi 11,72 hektar. Hingga kondisi saat ini DAS Bedadung mempunyai tutupan lahan non hutan sebesar 37,37 hektar. Berdasarkan hal tersebut indikatif rehabilitasi hutan lindung (RHL) di DAS Bedadung seluas 360,24 hektar.
Tanah dan air dalam upaya konservasi pada daerah aliran sungai sebagai upaya dalam menjaga kondisi hidrologis DAS. Kondisi hidrologis yang dimaksud adalah kualitas tanah dan air. Beberapa teknik konservasi yang telah dilakukan untuk menjaga kualitas tanah dan air adalah meliputi teknik rehabilitasi lahan, peran masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam, serta sistem pertanian berbasis Agroforestry (Sutapa, 2010; Sallata, 2016; Wibowo, 2003; Sarminingsih, 2007, Febrianty, 2018, dan Sudaryono, 2003). Beberapa teknik konservasi di atas mampu mengendalikan erosi untuk perbaikan kualitas tanah serta menurunkan tingkat pencemaran akibat adanya pemupukan dan penggunaan pestisida secara intensif.
Collections
- MT-Agriculture [6]