Show simple item record

dc.contributor.advisorMASLIKATIN, Titik
dc.contributor.advisorSAPUTRA, Heru Setya Puji
dc.contributor.authorADILA, Mohamad Fikri
dc.date.accessioned2021-04-21T01:55:27Z
dc.date.available2021-04-21T01:55:27Z
dc.date.issued2020
dc.identifier.nimNIM130110201097
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/104274
dc.description.abstractLangit Kresna Hariadi menulis tentang Menak Jinggo dengan memilih salah satu versi dari berbagai macam sumber, dan dikemas sangat menarik bagi penggemar karya sastra tertulis, tidak dengan menarik latar sejarah yang diceritakan secara umum pada masyrakat, akan tetapi dengan menempatkan peristiwa itu sebagai peristiwa novel. Bagi masyarakat Jawa yang terpengaruh oleh kerajaan Majapahit dan Mataraman, Menak Jinggo merupakan sosok pemberontak dan perongrong kedaulatan Majapahit. Ia digambarkan sebagai sosok yang culas, serakah, dan tidak tahu diri. Secara fisik Menak Jinggo di gambarkan sebagai orang yang berkepala anjing, perut buncit, dan menggunakan klinthing (gelang berlonceng kecil di kaki). Semua penggambaran tersebut merupakan penghinaan terhadap sosok Menak Jinggo. Penulis menganalisis novel Menak Jinggo Sekar Kedaton menggunakan beberapa kerangka teori yang akan digunakan untuk membedah karya tersebut, agar nantinya maksud, makna, dan tujuan Langit Kresna Hariadi membuat novel itu bisa diungkap dengan baik dan benar. Penulis menganalisis novel dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik, yang nantinya akan muncul beberapa konsep dari strukturalisme genetik seperti, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia : homologi, strukturasi, dan struktur, struktur karya sastra, dan dialektika pemahaman – penjelasan. Pandangan dunia sendiri sangatlah dinamis ketika kita kaitkan dengan permasalahan yang ada, ketika karya sastra tersebut dibuat, seperti menyangkut ekonomi, politik, bahkan kekuasaan. Pandangan dunia pengarang adalah dunia yang diciptakan oleh pengarang itu sendiri, dan ketika dibenturkan dengan situasi tahun atau masa dimana struktur karya sastra tersebut dibentuk maka bisa dengan mudah dianalisis ada kejadian apa di dalam karya tersebut, apakah pesan yang disampaikan oleh pengarang tersirat, ataukah oleh pengarang diberi tanda-tanda khusus agar pembaca mengerti struktur karya sastra yang pengarang ciptakan. Penelitian yang dilakukan di dalam novel Menak Jinggo Sekar Kedaton karya Langit Kresna Hariadi, peneliti akan menggunakan metode penelitian yang koheren dan bekesinambungan dengan teori strukturalisme-genetik yaitu dengan menggunakan metode dialektik.Secara teoritis setiap fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis, kemudian diadakan negasi. Dengan adanya pengingkaran maka tesis dan antitesis seolah-olah hilang atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali, demikian seterusnya, sehingga proses pemahaman terjadi terus-menerus. Oleh karena itulah, proses pemahamannya sama dengan hermeneutika, dalam bentuk spiral, bukan garis lurus. Capaian untuk memperoleh gelar raja menggantikan Hayam Wuruk memuat banyak sekali medan semantis yang terbentuk dari oposisi-oposisi. Satu sisi berhubungan dengan sisi di sebelahnya. Hadirnya bentuk tersebut tidak bersifat statis melainkan dinamis sehingga dibaca sebagai sebuah pergerakan. Hubungan itu menjadikan salah satu lebih dominan dari yang lain. Relasi itu menjadi semacam bentuk yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Tematik yang ditemukan pada novel Menak Jinggo Sekar Kedaton adalah kekuasaan, loyalitas dan penaklukan. Ketiga tematik tersebut menjadi struktur penunjang isi novel dan di dalamnya memiliki muatan relasi. Legitimasi kekuasaan politik pada novel Menak Jinggo menjadikan kekuasaan diperebutkan lingkungan istana kerajaan untuk menyebar pengaruh maupun menjaga. Struktur ruang novel ini terbangun dari banyak medan semantis, di antaranya Wirabumi >< Wikramawardana, Hayam Wuruk >< Sri Gitarja, dan Biniaji.>< Sri Sudewi. Secara etimologis, istilah “loyalitas” (loyal) diadaptasi dari bahasa Prancis yaitu “Loial” yang artinya mutu dari sikap setia. Loyalitas dipahami pada sikap kesetiaan dan keberpihakannya. Loyalitas memuat relasi kerajaan >< tokoh dan Kusumawardani >< Ragaweni.Penaklukan dipahami bahwa penyatuan dengan bentuk semacam itu menempatkan kelas dominan sebagai penguasa dan kelas lain sebagai masyarakat sipil. Karena masyarakat sipil mencakup semua organisasi dan lembaga di luar produksi dan negara, ia juga viii mencakup keluarga. Penaklukan memuat relasi Gajah Mada >< Gajah Enggon dan Blambangan Majapahit. Wirabumi adalah Menak Jinggo, munculnya julukan Menak Jinggo sebagai bentuk olok-olok untuk menempatakannya pada posisi rendah. Bangsawan berwajah jingga seperti sebuah aib bagi bangsawan yang dikelilingi kemuliaan. Wirabumi tidak serta merta mendapatkan julukan seperti itu di lingkungannya. Ada konsep genetik yang melatarbelakangi peristiwa itu. Genetik peristiwa dan genetik subjeknya sendiri, yakni Wirabumi dilihat sebagai unsur pembentuk. Perang Bubat adalah fakta kemanusiaan sehingga gambaran dunia ideal itu ternyata tidak terbentuk. Perang bubat merupakan suatu perang antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Sunda yang terjadi pada tahun 1357 Masehi. Disebut perang bubat dikarenakan perang tersebut terjadi di Pesanggrahan Bubat. Perang tersebut dimenangkan oleh Majapahit dan mengakibatkan tewasnya seluruh armada Kerajaan Sunda. Kemenangan Majapahit menjadi kemenangan semu. Perang Bubat membuat dua peristiwa ideal yang gagal, penyatuan pernikahan dari Hayam Wuruk dan penyatuan Nusantara milik Gajah Mada. Peristiwa Bubat menjadi bumerang, senjata yang menyerang balik pemiliknya. Gajah Mada sebagai Mahapatih Hayam Wuruk sedang ingin mewujudkan ambisinya pada Sumpah Palapa menjadi petaka bahwa dirinya harus melepaskan diri dari pemerintahan Hayam Wuruk. Hayam Wuruk selain gagal mendapatkan istri dari Kerajaan Sunda, hubungan kedua kerajaan pun terpecah. Konsep ideal tersebut disebut sebagai strukturasi karena saat merencakan sesuatu secara ideal dibuat rencana-rencana secara terstruktur. Akan tetapi, ternyata apa yang menjadi kenyataan di universitas tersebut tidak sesuai dengan strukturasi yang dilakukan terhadap kenyataan itu. Struktur rencana Hayam Wuruk memperoleh hambatan. Strukturasi yang dilakukan berhadapan dengan kenyataan bahwa kondisi sosial yang dihadapi itu telah distrukturalkan atau ditransformasikan oleh Gajah Mada dengan cara yang berbeda atau bertentangan dengan Hayam Wuruk. Penerobosan yang dilakukan Hayam Wuruk karena hambatan pada dirinya, di antaranya gagalnya menikahi Dyah Pitaloka, terpaksa menikahi Sri Sudewi adik sepupunya, serta ditinggalkan sosok yang memperluas kekuasaan Majapahit membuatnya menemukan perempuan yang digadang-gadang sebagai titisan Dyah Pitaloka. Pertemuan Hayam Wuruk dengan Biniaji sehingga menjadikannya istri membuat terjadinya penggabungan unsur desa dan unsur kota pada pernikahan itu. Biniaji sebagai desa, religi, rakyat, dan pinggiran bersatu dengan Hayam Wuruk sebagai kota, kuasa, raja, dan pusat. Pusat pergi ke pinggiran dan membuat pinggiran itu berada di pusat. Di lingkungan pusat, keberadaan Biniaji tetap menjadi pinggiran. Posisi semacam itu melahirkan Wirabumi sebagai struktur yang tidak tetap, ia anak raja tetapi berasal dari selir dan ibu yang tidak dari kalangan pusat. Novel Menak Jinggo menempatkan itu sebagai suara-suara dari Wirabumi. Sisi Wirabumi sebagai pandangan dunia mengacu pada pendapat Goldmann. Wirabumi menjadi hero yang problematik, pembahasan itu akan dijelaskan pada bagian selanjutnya mengenai pandangan dunia. Menak Jinggo mengalami banyak pergeseran dari penggunaan fungsi awalnya, menempatkan Wirabumi pada posisi inferior dan menjadikan suara kehadirannya tidak diperhitungkan. Wirabumi membongkar ulang makna Menak Jinggo menjadi sebuah pemahaman pengetahuan untuk mengangkat suara-suara yang tersisih. Pandangan dunia Wirabumi sebagai Menak Jinggo adalah menampilkan suara yang terisihkan. Pandangan dunia ini menjadi sebuah kritik terhadap sistem di dalam kerajaan Majapahit. Posisi dominan Sapta Prabu menjadikan Majapahit tidak lagi sebagai negara di bawah tata aturan perundangundangan Kitab Kutaramanawa. Keistimewaan posisi Sapta Prabu sedang digugat oleh Wirabum dengan menggunakan stereotip yang dilekatkan padanya, Menak Jinggo. Bangsawan Majapahit terlalu nyaman pada ruang-ruang eksklusif sehingga melupakan suara-suara yang tersisihkan: pinggiran, desa, negara bagian, jelata, dan pertanian. Kemampuan Wirabumi menerobos ruang-ruang itu sehingga kekuatan militer ditundukkan dengan menampilkan sisi hegemonik Majapahit yang tersisihkan, keadilan dari Kitab Kutaramanawa. Perebutan posisi penguasa pengganti Hayam Wuruk tidak ditempatkan pada posisi sentral oleh Wirabumi, ia melihat kepentingan Majapahit bukan persoalan raja tetapi strategi sistematis. Kemunculan suara semacam ini karena ia menjasi hero problematis, berdasarkan fakta kemanusiaan yang dialaminya serta subjek kolektif yang membentuknya. Lingkungan sosial kelas atas tidak menerima penuh kehadirannya dan upaya penyingkiran dari lingkungan kekuasaan menggunakan stereotip Menak Jinggo. Menak Jinggo menemukan pemaknaan ulang di lingkungan kelas bawah luar keraton bahwa itu menjadi sebuah kekuatan untuk menemukan kembali suara yang tersisihkan dan menampilkannya di dalam keraton.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFAKULTAS ILMU BUDAYAen_US
dc.subjectSosiaologi Sastraen_US
dc.subjectStrukturalisme Genetiken_US
dc.subjectMajapahiten_US
dc.subjectBlambanganen_US
dc.titlePandangan Dunia Pengarang Pada Tokoh Bhre Wirabumi Dalam Novel Menak Jinggo Sekar Kedaton Karya Langit Kresna Hariadi : Kajian Strukturalisme Genetiken_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiSastra Indonesia
dc.identifier.kodeprodi0110201


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record