Show simple item record

dc.contributor.advisorMASLIKATIN, Titik
dc.contributor.advisorMUSTAMAR, Sunarti
dc.contributor.authorPRAMESWARI, Anidia Citra
dc.date.accessioned2020-12-22T07:10:09Z
dc.date.available2020-12-22T07:10:09Z
dc.date.issued2020-10-19
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/102850
dc.description.abstractNovel Batas karya Akmal Nasery Basral adalah novel yang telah difilmkan dengan judul yang sama yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo. Batas menceritakan tentang kehidupan di perbatasan Indonesia tepatnya di Dusun Ponti Tembawang Kalimantan Barat. Novel Batas banyak menceritakan peristiwa mengenai pendidikan dan budaya adat istiadat setempat yang merekontruksi pola pikir masyarakat. Tidak terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana sekolah membuat anak-anak yang menempuh sekolah bahkan tidak memiliki minat dan semangat untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dikarenakan biaya hidup dan biaya transportasi yang digunakan tidak sedikit. Lebih banyak dari mereka merelakan pendidikannya untuk membantu orang tua mereka mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan harian. Peneliti menggunakan teori ekranisasi untuk menganalisis perbedaan antara novel dan film Batas. Analisis kritik sosial juga digunakan dalam penelitian ini yang bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan sosial yang terjadi di novel Batas karya Akmal Nasery Basral tersebut. Pendekatan struktural digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk mengetahui secara murni novel Batas melalui keterkaitan disetiap unsur-unsurnya. Pendekatan struktural yang digunakan peneliti untuk analisis antara lain, tema, penokohan dan perwatakan, latar, alur dan konflik. Tema dibagi menjadi dua yaitu tema minor dan tema mayor. Tema mayor dalam novel Batas adalah pendidikan masyarakat di daerah perbatasan serta masalah yang terjadi akibat konstruksi pola pikir masyarakat. Tema minor dalam novel Batas terdiri dari adat dan istiadat budaya Dayak, masalah sosial ekonomi daerah perbatasan dan nasionalisme daerah perbatasan yang memudar. Tema tersebut menggambarkan garis besar perwatakan tokoh utama dan tokoh bawahannya. Tokoh utama dalam novel tersebut adalah viii Jaleswari. Beberapa tokoh tambahan yang berpengaruh paling banyak dalam berinteraksi dengan tokoh utama, yaitu Otiq, Adeus, Pagau, Borneo, Nawara, Panglima Adayak, Arifin, dan Ubuh. Latar yang dijadikan cerita dibagi menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat yang ada dalam novel tersebut di antaranya Entikong, Sungai Sekayam, Dusun Ponti Tembawang dan hutan. Latar waktu pada novel tersebut terjadi pada era modern dimana teknologi sudah berkembang dan sarana komunikasi sudah cukup cepat. Latar sosial yang terjadi adalah perayaan Cap Go Meh yang dilakukan 15 hari setelah perayaan Imlek, dan kehidupan masyarakat Suku Dayak. Tahapan alur dibagi menjadi lima tahapan yaitu: tahap situation; tahap generating circumtances; tahap rising action; tahap climax; dan tahap denouement. Konflik yang terjadi di antaranya adalah konflik antara manusia dan manusia yang dominan terjadi kepada tokoh bawahan. Konflik antara manusia dan masyarakat yang dominan terjadi kepada tokoh masyarakat Dusun Ponti Tembawang dengan Jomi, masyarakat Desa Kabmol dengan pendatang, Orang tua di Dusun Ponti Tembawang dengan Adeus, Jaleswari dengan penduduk Dusun Ponti Tembawang. Konflik ide satu dengan ide lainnya yang dominan adalah pemikiran Jaleswari dengan filosofi masyarakat Suku Dayak. Konflik seseorang dengan kata hatinya adalah konflik Jaleswari dengan pemikirannya, dan Adeus dengan perasaannya. Ekranisasi digunakan untuk menganalisis proses perubahan yang terjadi pada novel yang mulanya berupa kata-kata dan kalimat menjadi bentuk gambar yang bergerak berkelanjutan. Proses ekranisasi terjadi melalui tahap penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi pada alur, latar, dan tokoh. Melalui ekranisasi dapat diketahui terjadinya perubahan-perubahan tersebut dan alasan terjadinya perubahan tersebut. Penciutan pada alur yang tidak divisualisasikan dalam film terjadi pada bagian peristiwa-peristiwa dalam perjalanan Jaleswari menuju Dusun Ponti Tembawang. Penciutan pada latar yang tidak divisualisasikan dalan film terjadi pada latar Vihara Vajra Bumi Kertayuga, Hotel Entikong, Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB), dan rumah penambang emas di sepanjang aliran Sungai Sekayam. Penciutan pada tokoh yang tidak ditokohkan dalam film terjadi pada tokoh Victor, Gale, Jomi, Irfan, Teo, dan Natun. ix Penambahan pada alur yang tidak diceritakan dalam novel namun terdapat dalam film adalah adegan penari tarian adat, beberapa adegan rentetan peristiwa di perjalanan Jaleswari, dan beberapa adegan di Dusun Ponti Tembawang. Penambahan pada latar yang tidak diceritakan dalam novel namun divisualisasikan dalam film adalah latar tempat di rumah Jaleswari dan latar tempat di kantor Jaleswari. Penambahan pada tokoh bertujuan untuk menggantikan tugas beberapa tokoh yang mengalami penciutan adalah tokoh Tucang dan pimpinan perusahaan kantor Jaleswari. Perubahan bervariasi pada alur, latar, dan tokoh merupakan gabungan dari novel dan film yang divisualisasikan berbeda. Perubahan bervariasi alur yang terjadi, yaitu adegan Ubuh yang ditolong oleh Arifin, peristiwa perjalanan Jaleswari menuju Dusun Ponti Tembawang, adegan Jalung membagikan surat di Dusun Ponti Tembawang, pembicaraan Jaleswari dan Panglima Adayak, patok batas di perbatasan, laporan Jaleswari terhadap peristiwa yang dialami oleh Ubuh dan penangkapan Otiq. Untuk perubahan bervariasi latar tidak ditemukan dalam film maupun novel karena sebagian latar banyak mengalami penciutan dan terdapat beberapa tambahan latar. Perubahan bervariasi tokoh terjadi pada tokoh Jalung. Kritik sosial dalam novel menampilkan beberapa permasalahan sosial yang kerap terjadi di kehidupan nyata. Kritik sosial masalah ekonomi, kritik sosial masalah pendidikan, dan kritik sosial masalah moral seringkali kerap dijadikan media penyampaian kritik kepada masyarakat mengenai permasalahan yang sungguh terjadi apabila tidak didasari dengan penyelesaian yang nyata. Kritik sosial masalah ekonomi dalam novel Batas antara lain karena adanya tindak korupsi, pelintas batas ilegal, penyelundupan barang ilegal, dan sebagainya. Kritik sosial masalah pendidikan di antaranya adalah kurangnya pengetahuan mengenai nasionalisme dan kebangsaan, kurangnya sarana dan prasarana sekolah yang tersedia, tidak adanya transportasi yang mendukung, kurangnya tenaga pendidik, dan adanya stereotipe negatif dari orang tua. Kritik sosial masalah moral antara lain, yaitu adanya pelencengan nilai moral yang tidak memperhatikan segi kemanusiaan dan kritik tersebut bertujuan untuk menyampaikan nilai- nilai kebenaran serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS JEMBERen_US
dc.subjectKritik Sosial dalam Novel Batas Karya Akmal Nasery Basral dan Film Batas Karya Sutradara Rudi Soedjarwo: Kajian Ekranisasien_US
dc.titleKritik Sosial Dalam Novel Batas Karya Akmal Nasery Basral Dan Film Batas Karya Sutradara Rudi Soedjarwo: Kajian Ekranisasien_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiILMU SEJARAH


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record