Show simple item record

dc.contributor.authorPRASOJO, Bangun Adhi
dc.date.accessioned2024-04-04T03:08:25Z
dc.date.available2024-04-04T03:08:25Z
dc.date.issued2023-06-27
dc.identifier.nim190720101007en_US
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/120314
dc.descriptionFinalisasi oleh Taufik Tgl 4 April 2024en_US
dc.description.abstractPerkembangan yang terjadi tindak pidana kekerasan seksual digolongkan dalam perbuatan kekerasan seksual non fisik dan kekerasan seksual fisik. Penyimpangan seksual tergolong sebagai paraphilia, diartikan bentuk perilaku seksual yang tidak biasa, tergolong gangguan jiwa dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa - III. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 86/Pid.Sus./2012/ PN. Kbm melepaskan terdakwa gangguan preferensi seksual Ekshibisionisme dari seluruh penjatuhan pidana pada tingkat kasasi, dan putusan putusan Pengadilan Negeri Singkawang Nomor: 40/Pid. Sus/2021/PN Skw menjatuhi pidana penjara selama tujuh bulan kepada terdakwa gangguan preferensi seksual Ekshibisionisme. Permasalahan yang timbul adalah Apakah pelaku ekshibisionis dalam tindak pidana merusak kesusilaan di muka umum tergolong dalam kriteria tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 44 KUHP? Apakah pelaku ekshibisionis pelaku tindak pidana merusak kesusilaan di muka umum dapat dipertanggungjawabkan dalam praktik penegakan hukum? Bagaimanakah prospektif ketentuan pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan sanksi terhadap pelaku ekshibisionis pelaku tindak pidana merusak kesusilaan di muka umum berdasarkan hukum pidana Indonesia? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif memberikan pemaparan analisa tentang struktur hukum yang berlaku. Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan kasus, yang dilakukan dengan menganalisa keseluruhan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan hukum. Gangguan preferensi seksual tidak termasuk dalam klasifikasi tidak dapat dipertangunggjawabkan menurut Pasal 44 Ayat(1).Yang termasuk dalam kategori penyakit jiwa pada Pasal 44 Ayat (1) KUHP merupakan psikosis atau psikosa, yaitu gangguan jiwa bukan gangguan syaraf, dan bukan gangguan yang sifatnya kepribadian, secara umum gangguan psikosi/psikosa diartikan sebagai “penyakit jiwa”atau “gangguan jiwa berat”, sedangkan neurosis disebut sebagai “gangguan jiwa” atau “ganguan jiwa ringan”. Maka, ”penyakit jiwa” yang diatur dalam pasal 44 ayat (1) KUHP merupakan hanya penyakit jiwa yang bersifat psikosis. Terdakwa dalam beberapa kasus dalam putusan pengadilan yang dalam pembahasan ini merupakan terdakwa yang masuk dalam kategori preferensi seksual yang tidak masuk dalam kategori tidak mampu dipertanggungjawabkan perbuatannya karena gangguan preferensi seksual yang diderita terdakwa merupakan non-psikosis memutus perkara pidana pada pelaku Ekshibisionis dalam tindak pidana merusak kesusilaan di muka umum lebih baik menggunakan peraturan undang-undang UU TPKS sudah jelas mengatur golongan perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual non fisik dengan ketentuan pidana dan tindakannya bila terdapat seseorang melanggar tindak pidana kekerasan seksual non fisik. Diperlukan suatu pembaharuan yang mengatur batas kriteria kemampuan bertanggung jawab pelaku Ekshibisionis dalam tindak pidana merusak kesusilaan di muka umum. Kesimpulanya pelaku Ekshibisionis pelaku tindak pidana merusak kekerasan seksual di muka umum tidak tergolong dalam kriteria tidak dapat dipertangungjawabkan perbuatanya menurut Pasal 44 KUHP. Pertanggung jawaban pelaku Ekshibisionis dalam tindak pidana merusak kesusilaan di muka umum dapat mempertanggugjawabkan perbuatannya dipersidangan, untuk menuntut pelaku perkara pidana pada pelaku Ekshibisionis dalam tindak pidana merusak kesusialaan dumuka umum lebih baik menggunakan UU TPKS yang sudah jelas mengatur golongan perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual non fisik beserta ketetuan pidana dan tindakannya.Prospektif ketentuan pertanggungjawaban pidana dan penjatuhan sanksi pelaku ekshibisionis dalam tindak pidana merusak kesusilaan dimuka umum diperlukan suatu pembaharuan yang mengatur mengenai batas kriteria kemampuan bertanggung jawab pelaku Ekshibisionis dalam tindak pidana merusak kesusialaan di muka umum. Saran penulis penegak hukum lebih jeli dalam menyimpulkan perbuatan yang dilakukan pelaku Ekshibisionis apakah dia menyadari apa yang telah diperbuat serta memahami akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatannya karena belum ada peraturan yang mengatur mengenai batasan kriteria dapat dipertanggung jawabkan. Penerapan peraturan yang bersifat khusus mengatur kekerasan seksual non fisik yakni UU TPKS lebih memenuhi unsur keadilan dalam pertanggungjawaban pidana karena seluruh unsur perbuatannya telah diatur secara rinci. Dalam pembentukan hukum tidak mengakibatkan dua penafsiran dalam penerapannya sehingga menimbulkan kepastian dan kemanfaaatan hukum dalam penerapannya. Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Ekshibisionis, Tindak Pidana Merusak Kesusilaan Di Muka Umumen_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Hukumen_US
dc.subjectPERTANGGUNGJAWABAN PIDANAen_US
dc.subjectEKSHIBISIONISen_US
dc.subjectTINDAK PIDANA MERUSAK KESUSILAAN DI MUKA UMUMen_US
dc.titlePertanggungjawaban Pidana Pelaku Ekshibisionisme dalam Tindak Pidana Merusak Kesusilaan di Muka Umumen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiMagister Ilmu Hukumen_US
dc.identifier.pembimbing1Dr. Fanny Tanuwijaya, S. H., m.hum.en_US
dc.identifier.pembimbing2Al Khanif, S. H., L. L. M., PH. D.en_US
dc.identifier.validatorrevaen_US
dc.identifier.finalizationTaufiken_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record