Show simple item record

dc.contributor.authorSARI, Arina Pramudita
dc.date.accessioned2022-03-30T08:07:25Z
dc.date.available2022-03-30T08:07:25Z
dc.date.issued2021-10-11
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/106051
dc.description.abstractPerjanjian yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk memberikan kepastian hukum sekaligus melaksanakan prestasi yang telah disepakati bersama. Perjanjian hutang piutang merupakan jenis perjanjian yang sering dijumpai dalam kegiatan masyarakat salah satunya dalam dunia usaha. Dalam perjanjian hutang piutang, cicilan pembayaran merupakan suatu prestasi yang harus dilakukan sesuai dengan janji yang telah disepakati agar tidak menimbulkan wanprestasi. Sebagaimana kajian dalam Putusan Nomor 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020. Pemohon Kasasi dalam perkara a quo tidak segera memenuhi kewajiban prestasi dengan membayar cicilan untuk modal usaha serta keuntungan yang dijanjikan sesuai jangka waktu permbayaran yang telah disepakati dalam perjanjian kerjasama investasi (dibawah tangan) yang berakibat tersitanya tanah. Sehingga, pokok perkara a quo merupakan merupakan perjanjian hutang piutang bukan sengketa konsumen. Dalam penelitian ini penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan mencoba meneliti kewenangan BPSK dalam mengadili sengketa wanprestasi terhadap perjanjian hutang piutang (Putusan Mahkamah Agung 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020). Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif serta pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang, dan pendekatan kasus. Sehingga dalam penelitian ini menemukan suatu permasalahan yang akan dibahas diantaranya : Pertama, Apakah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang dalam mengadili sengketa wanprestasi terkait perjanjian hutang piutang?. Kedua, Apa akibat hukum dari Putusan BPSK yang mengadili sengketa wanprestasi terkait perjanjian hutang piutang?. Ketiga, Apakah pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) dalam menolak permohonan kasasi dalam (Putusan Mahkamah Agung Nomor 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020) sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku?. Serta bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan non hukum yang berkaitan dengan kasus yang diteliti. Hasil penelitian yang diperoleh penulis dapat memberikan penjelasan diantaranya : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam kaitannya dengan kasus yang dikaji tidak berwenang dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa tersebut. Bahwasannya Perjanjian Hutang Piutang tidak termasuk dalam ruang lingkup sengketa konsumen sehingga menjadi kewenangan absolut Pengadilan Negeri dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa tersebut. Akibat hukum pada kasus yang dikaji (Putusan Mahkamah Agung Nomor 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020) yaitu menguatkan putusan Pengadilan sebelumnya atau Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Oleh sebab itu, pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) Mahkamah Agung yang menolak permohonan kasasi terhadap sengketa ini telah sesuai dengan undangundang dan ketentuan yang berlaku dimana BPSK tidak berwenang dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa perjanjian hutang piutang. Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian-uraian diatas bahwa : Pertama, Badan Penyelesaian Sengketa konsumen tidak berwenang secara absolut untuk menyelesaikan sengketa hutang piutang. Kedua, akibat hukum atas Putusan BPSK yang mengadili sengketa yang bukan menjadi kewenangannya menyebabkan para pihak harus kembali mematuhi putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Ketiga, pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) dalam menjatuhkan amar putusan yaitu menolak permohonan kasasi sudah tepat dengan ketentuan yang berlaku. Sehingga dalam penelitian ini, penulis memberikan saran yang dapat menjadi masukkan diantaranya : Pertama, BPSK lebih teliti dalam memahami tugas dan wewenang yang termasuk dalam ruang lingkupnya. Agar BPSK tidak mengulangi kembali permasalahan dimana bertindak diluar batas kewenangan yang sudah terkandung baik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dan Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/Mpp/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK. Kedua dalam menjatuhkan putusan, hendaknya hakim BPSK yang memeriksa dan mengadili sengketa mencermati secara baik-baik tentang sengketa yang diperkarakan. Sehingga para pihak yang bersengketa memperoleh kepastian hukum dan terwujudnya sistem penegakan hukum yang efisien. Ketiga, hakim dalam menjatukan suatu putusan dapat mencerminkan nilainilai keadilan bagi para pihak.en_US
dc.description.sponsorshipEdi Wahjuni, S.H., M.Hum Rhama Wisnu Wardhana, S.H., M.Hen_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Hukumen_US
dc.subjectPerjanjian Hutang Piutangen_US
dc.subjectWanprestasien_US
dc.subjectBadan Penyelesaian Sengketa Konsumenen_US
dc.subjectPerlindungan Hukum Konsumenen_US
dc.titleKewenangan BPSK dalam Mengadili Sengketa Wanprestasi Terhadap Perjanjian Hutang Piutang: Putusan Mahkamah Agung Nomor 442 K/Pdt.Sus-BPSK/2020en_US
dc.typeThesisen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record