Show simple item record

dc.contributor.advisorWidiyanti, Ikarini Dani
dc.contributor.advisorPuspaningrum, Galuh
dc.contributor.authorRAMADHANTI, Nony Aulia
dc.date.accessioned2020-11-12T04:45:13Z
dc.date.available2020-11-12T04:45:13Z
dc.date.issued2020-05-12
dc.identifier.nim160710101311
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/101906
dc.description.abstractSemakin lama perekonomian global semakin mengalami kemajuan menyebabkan persaingan usaha di Indonesia semakin ketat. Kesulitan untuk mendpatkan keuntungan oleh pelaku usaha yang sebesar-besarya sering kali membuatnya menjadi gelap mata dan ingin menempuh jalan pintas untuk menggapai laba setinggi-tingginya dalam melaksanakan usahanya. Salah satu bentuk persaigan usaha tidak sehat yang penulis angkat dalam tulisan ini adalah mengenai kartel. KPPU sering mengalami kesulitan dalam membongkar sindikat kartel yang mengganggu penegakan iklim persaingan usaha sehat. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan alat bukti yang bisa memenuhi setiap unsur-unsur pasal yang dikategorikan sebagai pasal perkara kartel. Ketika tidak dapat dibuktikannya satu unsur saja dalam perkara kartel hal ini membuat lolosnya pelaku usaha yang telah diduga melakukan kartel. Permasalahan tersebut sejatinya dapat ditangkas ketika indirect evidence dapat diakui secara pasti dalam sistem hukum persaingan usaha di Indonesia. Adapun dalam tulisan ini, rumusan masalah yang diambil oleh penulis adalah sebagai berikut. Pertama, Apakah keterkaitan penerapan Indirect Evidence dalam pembuktian perkara kartel. Kedua, Apa pertimbangan hukum hakim dalam menerapkan Indirect Evidence pada Putusan MA No. 1495 K/Pdt.Sus-KPPU/2017 sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Hukum persaingan usaha merupakan wadah yang dapat dimanfaatkan dalam menangani persaingan usaha tidak sehat maupun praktik monopoli. Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut berupa oligopoli, price fixing agreement, price discrimination agreement, perjanjian tertutup, market division, pemboikotan, kartel, dan oligopsoni, integrasi vertical. Kartel merupakan bentuk pelanggaran terhadap persaingan usaha yakni berupa kolusi atau perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan yang tidak wajar, dimana cara yang ditempuh adalah dengan mengatur pasokan produk dan/atau dengan cara menetapkan harga dalam pasar bersangkutan yang tidak wajar. Perlakuan yang dilakukan pelaku usaha tersebut tentu merugikan konsumen juga pelaku usaha lainnya terhadap pasar yang bersangkutan. Hal ini lah yang perlu diberantas sejak dini untuk menghilangkan bibit-bibit pembuat persaingan usaha di Indonesia menjadi tidak sehat. Pembuktian kartel dapat dilakukan lebih mudah apabila menggunkanan indirect evidence. Indirect evidence merupakan alat bukti tidak langsung yang bisa diajukan dipersidangan dalam bentuk bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Namun permasalahannya sistem hukum persaingan usaha belum mengkonsep secara mendetail tekait penerapan indirect evidence dalam penegakan hukum persaingan usaha, sehingga hal tersebut memicu ketertarikan bagi penulis. KPPU merupakan lembaga negara komplementer yang bersifat independen, dimana tugas pokok dari KPPU ini adalah menegakkan hukum persaingan usaha sebagaimana mestinya. Dalam ketentuan UU No. 5 tahun 1999, KPPU diberikan kewenangan dalam penyelesaian perkara di bidang persaingan usaha. Dalam menjalankan wewenangnya dan tugasnya, KPPU melakukan penelitian serta penyelidikan sehingga KPPU dapat mengeluarkan putusan terkait adanya pelanggaran atau tidak oleh pelaku usaha terhadap Undang-Undang yang berlaku. Sebagai lembaga quasi yudisial menjadikan KPPU memiliki kewenangan yang hampir sama besarnya dengan peradilan yang lainnya. Pada penerapan sistem hukum Indonesia tidak hanya KPPU saja yang bisa menyelesaikan perkara tentang persaingan usaha, apabila pelaku usaha merasa tidak puas dengan putusan yang dikeluarkan oleh KPPU maka pelaku usaha tersebut bisa melakukan banding ke pengadilan negeri. Namun ketika pelaku usaha masih keberatan dengan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri maka pelaku usaha yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum lain yaitu kasasi di Mahkamah Agung berdasarkan prosedur yang berlaku. Pada beberapa perkara persaingan usaha telah menggunakan keberadaan indirect evidence ini, seperti dalam Putusan MA tersebut yang menguatkan putusan KPPU sebelumnya yang sempat dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Uatara karena menggunakan indirect evidence dalam pembuktiannya. Mahkamah Agung berpendapat bahwasanya telah terjadi komunikasi secara diam-diam atau silent agreement yang dilakukan oleh 16 perusahaan-perusahaan yang berafiliasi tersebut. Selain itu guna memperlancar adanya persekongkolan maka pemerintah dalam hal ini Direktur Jendral Perdagan Luar Negeri juga membantu dengan menunjukan adanya perilaku menyesiuaikan atau concerted action melalui proses pengurusan Surat Perizinan Impor atau SPI. Dalam kaitannya dengan penulisan ini, penulis menarik kesimpulan. Pertama, Kartel merupakan bentuk persaingan usaha yang tidak sehat yang mana dalam pendekatannya menggunakan prinsip rule of reason dan proses pembuktiannya perkara kartel tersebut memerlukan penganalisaan yang cukup dalam, karena dalam proses pembuktian kartel semua unsur yang tercantum dalam pasal kartel harus terpenuhi dan tidak boleh ada yang terlewatkan. Kedua, Keberadaan indirect evidence ini belum diakui secara tersurat dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun didalam Peraturan Komisi Nomor1 Tahun 2019 telah mengakkomodirnya dengan mencantolkan bukti ekonomi dan bukti komunikasi pada alat bukti petunjuk. Ketiga, Pembuktian menggunakan indirect evidence jauh lebih efektif dalam mengungkap sindikat kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang berafiliasi. Adapun saran yang diajukan penulis, pertama Memperjelas kedudukan dari penggunaan indirect evidence dalam proses pembuktian perkara hukum persaingan usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, langkah ini dapat ditempuh melalui revisi terhadap Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 dan kedua Memberikan pemahaman kepada pelaku usaha dan/atau masyarakat melalui sosialiasi dan/atau penyebaran berita dengan sosial media bahwasanya KPPU telah mempunyai mekanisme yang jelas dalam penggunaan indirect evidence pada saat proses pembuktian, serta penulis menyarankan agar KPPU membentuk Tim Khusus dalam proses penganalisaan perkara mengenai monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal tersebut bertujuan agar pelaku usaha tidak perlu khawatir adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh KPPU.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFAKULTAS HUKUMen_US
dc.subjectINDIRECT EVIDENCEen_US
dc.subjectKARTEL IMPORTASI BAWANG PUTIHen_US
dc.titleIndirect Evidence Dalam Perkara Kartel Importasi Bawang Putih ((Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1495 K/Pdt.Sus-KPPU/2017)en_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiHUKUM
dc.identifier.kodeprodi0710101


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record