Please use this identifier to cite or link to this item:
https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/90668
Title: | Hak Pekerja Dalam Melakukan Mogok Kerja |
Authors: | HARIANTO, Aries ATIKAH, Warah HARIS, Saiful |
Keywords: | Hak Pekerja Mogok Kerja |
Issue Date: | 25-Apr-2019 |
Series/Report no.: | 140710101091; |
Abstract: | Hasil dari penelitian ini terdiri atas dua hal, Pertama, Secara normatif mogok kerja diakui sebagai hak pekerja/ buruh. Di samping itu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang ditunda pelaksanaannya sampai dengan 1 Oktober 2002, buruh-buruh yang yang melakukan mogok tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan, dapat dikenakan sanksi pidana. Pengaturan yang demikian pada dasarnya bertentangan dengan konsep mogok kerja yang dipahami secara universal tentang hak mogok. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mogok kerja diatur khusus dalam Pasal 137 sampai dengan Pasal 145 dimana undang-undang ini yang berlaku saat ini sebelum diundangkannya undang-undang yang terbaru tentang ketenagakerjaan. Kedua akibat dari mogok kerja yang tidak sah diatur dalam Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 232/MEN/2003, yaitu bahwa mogok kerja yang dilakukan tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Atas hal ini, pengusaha melakukan pemanggilan kepada pekerja yang melakukan mogok kerja untuk kembali bekerja. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh pengusaha 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Jika pekerja/buruh tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri. Akibat hukum bagi pekerja/ buruh yang melakukan mogok kerja yang tidak sah adalah tidak berhak mendapatkan upah. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa Secara normatif mogok kerja diakui sebagai hak pekerja/ buruh. Namun pengakuan tersebut juga disertai ancaman yang sebenarnya tidak merepresentasikan pengakuan yang ada. Indikasi demikian nampak di dalam Pasal 13 dan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang pada intinya menyebutkan bahwa pelanggaran atas mogok kerja diancam secara pidana. Sedangkan di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pelaksanaan mogok kerja adalah ika pengusaha tidak memenuhi tuntutan pekerja yang bersifat normatif. Dalam undang-undang ketenagakerjaan juga dijelaskan bahwa gagalnya perundingan adalah tidak dicapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan yang diakibatkan karena pemgusaha tidak berkenan untuk berunding atau perundingan tidak menemukan jalan keluar. Dalam Pasal 142 undang-undang ketenagakerjaan menyatakan bahwa mogok kerja yang dilaksanakan tidak memenuhi suatu ketentuan sebagaimana yang telah dimaksudkan didalam ketentuan diatas maka digolongkan sebagai mogok kerja tidak sah. Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah. Bahkan jika mogok kerja yang dilaksanakan secara tidak sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan perusahaan yang kegiatannya dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia telah mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikaasikat sebagai kesalahan berat. Akibat hukum bagi pekerja/ buruh yang melaksanakan mogok kerja tidak sah adalah tidak berhak untuk mendapatkan upah. |
URI: | http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/90668 |
Appears in Collections: | UT-Faculty of Law |
Files in This Item:
File | Description | Size | Format | |
---|---|---|---|---|
SAIFUL HARIS-140710101091_.pdf | 792.81 kB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.
Admin Tools