Please use this identifier to cite or link to this item: https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/87756
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorINDRAYATI, Rosita-
dc.contributor.advisorMUHSHI, Adam-
dc.contributor.authorSIMANJUNTAK, Jordi Auliansi-
dc.date.accessioned2018-11-08T09:14:00Z-
dc.date.available2018-11-08T09:14:00Z-
dc.date.issued2018-11-08-
dc.identifier.nimNIM140710101540-
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/87756-
dc.description.abstractDalam setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahan haruslah didasarkan pada suatu proses yakni demokrasi. Dalam konsep negara demokrasi, mengenal adanya lembaga perwakilan. Di Indonesia sendiri lembaga perwakilan rakyat di sebut sebagai lembaga parlemen. Salah satu lembaga parlemen di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam rangka melaksanakan fungsi dan tugasnya DPR memiliki beberapa unit kerja yang biasa disebut dengan alat-alat kelengkapan DPR, salah satu alat kelengkapan DPR yang sangat penting adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, dibentuk dengan tujuan untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR. Seiring dengan perkembangannya sejak adanya UU No. 2 Tahun 2018 (UU MD3), Kewenangan MKD mengalami banyak perubahan terlihat jelas pada Pasal 122 yang menyatakan bahwa„‟MKD dapat mengambil langkah hukum/langkah lain terhadap orang ataupun badang hukum yang merendahkan kehormatan DPR serta anggota DPR‟‟, serta Kewenangan MKD yang tertuang dalam Pasal 245 yang menyatakan bahwa „‟Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Dengan dikeluarkannya UU MD3 tersebut, masyarakat menilai bahwa kewenangan MKD yang tertuang dalam UU MD3 dapat mencederai konstitusi dan merupakan suatu bentuk nyata kemunduran demokrasi yang dilakukan oleh DPR. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, muncul isu hukum yakni Bagaimana bentuk Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 dan Apakah Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 sesuai dengan Konsep Negara Demokrasi. Tujuan penulisan skripsi ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum skripsi ini adalah melengkapi dan memenuhi tugas pokok akademis untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember dan untuk menambah ilmu pengetahuan serta mengembangkan pemikiran bagi masyarakat luas. Tujuan khusus penulisan skripsi ini adalah Mengkaji Bentuk Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan tehadap Demokrasi di Indonesia. Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi adalah penelitian yuridis normative (legal approach). Penulis menggunakan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan historis (historical approach). Hasil dari penelitian skripsi ini adalah pertama yakni mengenai bentuk kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan. Secara fungsi MKD dibentuk sebagai lembaga penegak etik DPR yang hanya memiliki kewenangan dalam ruang lingkup lembaga DPR. Adanya perubahan kewenangan MKD yang dapat memberikan pertimbangan serta mengambil langkah hukum terhadap orang diluar anggota DPR sangatlah bertentangan dengan tugas, pokok, serta kewenangan MKD sebagai lembaga penegak etik DPR, maka sepatutnya kewenangan yang dimiliki MKD hanya sebatas dalam ruang lingkup DPR itu sendiri dan tidak dapat ditarik keluar. Kedua mengenai Kewenangan MKD dengan Konsep Negara Demokrasi. Lembaga perwakilan DPR terlahir dari adanya konsep negara demokrasi begitu juga MKD sebagai lembaga penegak etik DPR juga terlahir dari konsep demokrasi, namun kewenangan MKD tidak dapat diperluas karna akan dapat mengancam demokrasi dan mencederai Konstitusi di Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini adalah MKD adalah alat kelengkapan DPR yang dibentuk dengan tujuan untuk menjaga marwah dan menegakkan kehormatan DPR haruslah memiliki kewenangan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dengan adanya pasal 122 dan pasal 245 UU MD3 sebelum putusan MK, MKD dibentuk sebagai lembaga penegak etik yang tugas, pokok, serta kewenangannya hanya berada pada lembaga DPR, kewenangan MKD tidak dapat ditarik keluar dari kelembagaan tersebut, jika hal itu terjadi maka MKD telah mencederai konsep demokrasi serta merusak tujuan pembentukannya. Jika DPR ingin melalukan pembenahan seharusnya pembenahan tersebut lebih kepada kualitas kerja serta moralitas anggota DPR, bukan kewenangan MKD sebagai lembaga penegak etik. DPR lembaga yang memegang legitimasi rakyat serta mandat yang penuh yang disampaikan rakyat, seharusnya menjadi tonggak perubahan untuk menjadikan negara Indonesia adil dan sejahtera.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.relation.ispartofseries140710101540;-
dc.subjectKewenangan Mahkamahen_US
dc.subjectKehormatan Dewanen_US
dc.subjectMajelis Permusyawaratan Rakyaten_US
dc.subjectDewan Perwakilan Rakyaten_US
dc.subjectDewan Perwakilan Daerahen_US
dc.titleEksistensi Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Demokrasi Di Indonesiaen_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US
Appears in Collections:UT-Faculty of Law

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
JORDI AULIANSI SIMANJUNTAK - 140710101540.pdf_.pdf1.11 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.

Admin Tools