Please use this identifier to cite or link to this item:
https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/87741
Full metadata record
DC Field | Value | Language |
---|---|---|
dc.contributor.advisor | JAYUS | - |
dc.contributor.advisor | BAYU DWI ANGGONO, BAYU DWI | - |
dc.contributor.author | AZIZ, ABDUL | - |
dc.date.accessioned | 2018-11-08T08:27:59Z | - |
dc.date.available | 2018-11-08T08:27:59Z | - |
dc.date.issued | 2018-11-08 | - |
dc.identifier.nim | 150720101005 | - |
dc.identifier.uri | http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/87741 | - |
dc.description.abstract | Pasal 24 A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang lainnnya yang diberikan oleh undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa apabila terdapat suatu perda yang bertentangan dengan undang-undang, maka lembaga yang diberikan kewenangan untuk menguji dan membatalkannya adalah Mahkamah Agung. Hal ini diperkuat oleh Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Namun berbeda halnya jika kita melihat ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang pada intinya memberikan kewenangan kepada Menteri untuk membatalkan suatu perda. Hal tersebut memperlihatkan bahwa terjadi dishamonisasi antar peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang legalitas pembatalan perda, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas penulis mengidentifikasikan beberapa rumusan masalah antara lain : (1) Apakah implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 terhadap kewenangan Menteri dalam Negeri dan Gubernur untuk membatalkan peraturan daerah ; (2) Bagaimana praktek pembatalan peraturan daerah oleh Mahkamah Agung ? dan (3) Bagaimanakah seharusnya kewenangan pengawasan peraturan daerah oleh Menteri dalam Negeri dan Gubernur ? Tipe penelitian yang digunakan dalam penyelesaian tesis ini adalah tipe penelitian yuridis normatif. Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, maka metodologi dalam penelitian tesis ini menggunakan dua macam pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approarch). Dalam pengumpulan bahan hukum ini penulis menggunakan metode atau cara dengan mengklasifikasikan, mengkategorisasikan dan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang dipakai dalam menganalisis dan memecahkan permasalahan. Hasil kajian yang diperoleh bahwa : Pertama, Demi kepastian hukum dan sesuai dengan UUD 1945 menurut pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung. Berdasarkan uraian di atas, Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang Undang Pemerintahan Daerah sepanjang mengenai Perda Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding. Artinya, pemberlakuannya mengikat dimulai pada saat dibacakan. Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi telah memutus rantai perdebatan terkait pengujian Perda Kabupaten/Kota. Putusan Mahkamah Konstitusi secara tegas memberikan “stempel kewenangan” kepada Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang berhak menguji dan membatalkan Perda Kabupaten/Kota (judicial review). Dengan demikian, pengawasan yang bersifat represif menjadi wewenang Mahkamah Agung, sedangkan pengawasan yang bersifat preventif, mutlak menjadi tugas Pemerintah Pusat. Kedua, Dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan “pertingkatan”, melainkan juga pada “lingkungan wewenangnya”. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan perundangundangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau Undang Undang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, pembatalan Perda seharusnya tidak dilakukan oleh Pemerintah, tetapi pembatalan Perda harus dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui proses pengujian peraturan perundang-undangan. Ketiga, Peran pengujian peraturan perundang-undangan merupakan tugas Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan undang-undang, peran Mendagri sebagai penguji peraturan perundangan-undangan hanya dibatasi untuk empat isu yaitu masalah tata ruang, Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah, pajak, dan retribusi daerah. Pengalihan wewenang tersebut tidak akan menghambat penyelesaian peraturan daerah yang bermasalah. Menurut hemat penulis akan lebih baik jika Mahkamah Agung meniru model pengujian peraturan di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, bahwa : Apabila pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain (dalam hal ini kekuasaan ekskutif) dilakukan secara eksternal oleh kekuasaan kehakiman maka dinamakan judicial review sedangkan apabila dilaksanakan secara internal oleh pemerintah dinamakan executive review. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa mekanisme executive preview dan executive review lebih mirip sebagai semacam upaya administrasi yang bersifat tertutup di lingkungan pemerintahan, lebih berfungsi sebagai instrumen pengawasan internal oleh pemerintah terhadap pemerintah daerah. Sarana pengujian secara yudisial (judicial review) baru terbuka dan dapat digunakan manakala struktur pemerintahan yang lebih rendah mengajukan keberatan atas hasil dilakukannya executive review berupa keputusan pembatalan peraturan daerah yang dilakukan oleh struktur pemerintahan yang lebih tinggi kedudukannya. Dan dapat juga dilihat dari sisi yang berbeda bahwa sarana pengujian secara yudisial (judicial review) atas peraturan perundang-undangan di daerah baru akan berlangsung manakala terdapat orang atau badan hukum yang merasa keberatan dan mengajukan permohonan hak uji materil ke Mahkamah Agung untuk membatalkan peraturan daerah yang dianggap merugikannya tersebut. Atau sebaliknya pemerintahan daerah tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan desa/daerah yang dilakukan baik oleh Presiden dan/atau Menteri sehingga mengajukan langkah hukum pengajuan permohonan hak uji materil ke Mahkamah Agung. Pengujian dan pemeriksaan permohonan hak uji materi oleh Mahkamah Agung tersebut memiliki fungsi pengawasan eksternal yang bersifat yuridis terhadap kekuasaan pemerintahan (executive) dalam kerangka check and balances dan sekaligus dalam rangka mengawal cita negara hukum. | en_US |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.subject | Pembatalan Peraturan Daerah | en_US |
dc.title | KEWENANGAN MENTERI DALAM NEGERI DAN GUBERNUR DALAM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH | en_US |
dc.type | Undergraduat Thesis | en_US |
Appears in Collections: | MT-Science of Law |
Files in This Item:
File | Description | Size | Format | |
---|---|---|---|---|
ABDUL AZIZ, S.H. - unej.pdf | 1.38 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.