Please use this identifier to cite or link to this item: https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/80624
Title: Stereotipe Gender dalam Lagu MANTHOU’S dan Cak Diqin Gender STEREOTYPE in MANTHOU’S and CAK DIQIN SONGS
Authors: Hidayat, Nurul
Candraningtyas, Handriani
Keywords: STEREOTIPE GENDER
LAGU MANTHOU’S
LAGU CAK DIQIN
Issue Date: 2-Aug-2017
Abstract: Peran dan fungsi yang di peroleh perempuan di dalam mayarakat biasanya dikonstruksikan oleh budaya yang ada di wilayah setempat. tembang Jawa merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya warisan leluhur yang memiliki nilai sangat tinggi. Bukan hanya keindahan gending dan keharmonisan instrumen musiknya saja, akan tetapi makna atau nilai yang terkandung dalam tembang-tembang Jawa tersebut memiliki nilai yang positif tersendiri bagi penikmatnya. Beberapa diantara penembang atau penyanyi Jawa yang populer adalah lagu-lagu karya Manthou‟s (Rondo Kempling) dan Cak Diqin (Tali Kotang). Banyak stereotipe gender bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat dan itu dianggapnya benar. Dalam lagu Manthou‟s terdapat stereotipe tentang perempuan, terutama janda, di tanah Jawa seorang janda di pandang sebelah mata dan cenderung negatif maka dari itu seorang janda yang tinggal ditanah Jawa harus menjelaskan alasan mengapa ia janda terlebih dahulu kepada masyarakat sekitar untuk menghindari fitnah yang muncul, contohnya saja dalam lirik lagu Rondo Kempling berikut ini “kulo rondo anyaran ditinggal lungo”. Penelitian ini menggunakan metode Hermeneutika dengan lokasi penelitian di perpustakaan-perpustakaan universitas maupun perpustakaan kota. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode menganlisis teks/wacana lirik lagu Manthou‟s, Selanjutnya dilakukan analisis data dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data yang meliputi kategorisasi data persub-bab, kemudian dilakukan penafsiran data yang sesuai untuk menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan analisis Hermeneutika terhadap lagu Rondo Kempling karya Manthou‟s ialah awalnya, lagu tersebut mengisahkan tentang seorang laki-laki yang mencoba menggoda dan menawari bantuan kepada seorang perempuan yang baru dikenalnya, dan tawaran tersebut di terima oleh pihak perempuan lalu menjanjikan upah setelah semuanya selesai untuk mengungkapkan rasa trimaksihnya kepada laki-laki tersebut, setelah semuanya selesai wanita tersebut menjelaskan bahwa ia adalah seorang janda karena dalam budaya Jawa menjelaskan status sosialnya terlebih dahulu itu lebih baik untuk menghindari fitnah yang ada, terutama pada lingkungan sekitar, lalu laki-laki itu menjawab tidak ada masalah baginya mengenal seorang yang berstatus janda atau bukan, dan perempuan tersebut meyakinkan kepada laki-laki tersebut bahwa meskipun ia janda ia masih tetap seperti perawan karena dalam lagu tersebut terlihat bahwa laki-laki tersebut terlihat tertarik dengan perempuan yang baru saja dikenalnya. Makna Hermeneutika itu sendiri muncul mulai awal lirik hingga akhir, dan semua itu bisa kita mengerti makna yang sebenarnya sejak awal jika menggunakan analisis Hermeneutik, dalam Hermeneutika makna kata tidak harus di tengah kalimat tetapi bisa kita ketahui mulai dari awal kalimat itu sendiri jika menggunakan metode ini. Dalam kehidupan keluarga Jawa terlihat kedudukan antara suami dan istri tidaklah sama. Suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan penting serta mempunyai kekuasaan yang paling besar secara umum. Istri juga mempunyai peranan penting dan luas, namun dalam hal-hal tertentu saja. Misalnya dalam hal mengurus anak-anak dan mengendalikan perputaran roda perekonomian sehari-hari keluarga. Keadaan yang demikian ini lebih nampak di desa-desa. Kedua, pembagian peran publik dan domestik, pembagian peran dan maupun pembagian tugas rumah tangga yang adil antara suami dan istri terkadang masih dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat mengenai peran gender yang cenderung memposisikan wanita untuk selalu berperan pada wilayah domestik dan laki-laki berperan pada peran publik. Ketiga, status pernikahan perempuan, tingkat pendidikan perempuan di Indonesia merupakan salah satu faktor yang paling terkait dengan sikap terhadap pernikahan. Kesempatan belajar untuk anak perempuan juga berimplikasi pada lebih banyaknya kesempatan untuk bersosialisasi dengan lawan jenis mereka, sekaligus memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk mengenal satu sama lain di luar pengawasan orang tua. Hal ini telah menggeser pola perjodohan orangtua menjadi pernikahan hasil pilihan pribadi berdasarkan rasa cinta. Pernikahan berdasarkan rasa cinta pada usia lebih matang cenderung berlangsung lebih lama daripada pernikahan dijodohkan orangtua. Akibatnya, angka perceraian secara bertahap menurun. Terakhir, refleksi influensi kekerabatan keluarga besar, Perempuan Jawa memang terbiasa atas nama norma dan budaya luhur, terutama tentang segala sesuatu yang melibatkan nama baik keluarga, seperti pernikahan. Di Jawa, kemurnian ras dan persoalan degenerasi ras merupakan alat yang ampuh untuk mengontrol jarak sosial di tanah jajahan yang berkaitan erat dengan asumsi-asumsi tentang kehidupan rumahtangga yang baik, perkawinan, dan keluarga.
URI: http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/80624
Appears in Collections:UT-Faculty of Social and Political Sciences

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Handriani Candraningtyas - 120910302013.pdf1.28 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.

Admin Tools