Please use this identifier to cite or link to this item: https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/65157
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.advisorANGGRAINI, RINI-
dc.contributor.advisorANA, IDA BAGUS OKA-
dc.contributor.authorARVIANTO, DANANG MAHALDI-
dc.date.accessioned2015-11-30T08:58:00Z-
dc.date.available2015-11-30T08:58:00Z-
dc.date.issued2015-11-30-
dc.identifier.nim090710101297-
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/65157-
dc.description.abstractPenulisan skripsi ini pada dasarnya dlatarbelakangi bahwa dalam struktur Sejarah politik Indonesia kontemporer mencatat sesuai dengan adanya dasardasar hukum di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tertera di dalam Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, UU Pemilu No.8 Tahun 2012 merupakan sebuah terobosan bangsa untuk mewujudkan negara yang berkeadilan. Setelah disahkannya dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 April 2012 menggantikan Undang-undang nomor 10 Tahun 2008, undang-undang ini diharapkan mampu menciptakan lembaga perwakilan yang berkualitas dan mampu menjadi lembaga perwakilan yang benar-benar menjadi perwujudan seluruh rakyat Indonesia., Undang-Undang Komisi Pemilihan Umum , dan ketentuan Undang-Undang yang berada di tangan KPU, setiap kali pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan, selalu saja muncul protes- protes yang meragukan proses maupun hasil pemilu. Hal ini tidak hanya terjadi pada pemilu-pemilu pada masa Reformasi, tetapi juga Pemilu 1999 serta Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu Presiden 2004. Bahkan Pemilu 1955 yang dikenal sebagai pemilu paling bersih pun tak sepi dari protes. Pelaksanaan pemilihan langsung Presiden dan wakil Presiden sepanjang 2005 semakin menambah panjang daftar protes ketidakpuasan terhadap pemilu. Munculnya protes- protes ketidakpuasan terhadap proses maupun hasil pemilu itu, di satu sisi, disebabkan banyaknya pelanggaran terhadap peraturan pemilu yang tidak diselesaikan secara tuntas; di sisi lain, disebabkan perasaan di perlakukan tidak adil oleh penyelenggara pemilu. Alasan serupa juga dilakukan sejumlah partai dalam menyikapi hasil Pemilihan yang pernah ada.Bahkan mereka menuntut dilakukannya pemilu ulang meski undang-undang tidak mengaturnya. Di berbagai daerah, massa pendukung pasangan calon yang kalah melancarkan aksi-aksi anarkis karena merasa dicurangi oleh peserta lain maupun oleh penyelenggara. xiv Protes-protes ketidakpuasan atas proses dan hasil pemilu yang dilatari oleh banyaknya pelanggaran yang tidak bisa diselesaikan, serta perasaan telah diperlakukan tidak adil oleh penyelenggara tersebut, menunjukkan adanya masalah penegakan hukum dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Apabila tidak segera diatasi, di satu sisi, hal itu akan terus menimbulkan protes dari pihak-pihak yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya, dicurangi, atau diperlakukan tidak adil; di sisi lain, protes-protes yang muncul pada akhirnya bisa mendelegitimasi hasil pemilu. Dalam usaha mewujudkan pemilu yang jujur dan adil dan juga dalam rangka menghindari terjadinya delegitimasi pemilu di masa depan, masalah-masalah penegakan hukum pemilu itu harus diselesaikan secara komprehensif. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi sebab-sebab munculnya masalah penegakan hukum; selanjutnya dicarikan solusi komprehensif untuk mengatasi masalah tersebut sehingga akhirnya terwujud suatu sistem penegakan hukum pemilu yang mampu menjamin penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Standar pemilu demokratis internasional menyatakan bahwa pemilu jujur dan adil (free and fair elections) dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur semua proses pelaksanaan pemilu; sekaligus mampu melindungi para penyelenggara, peserta, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundangan pemilu beserta aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundangan pemilu tersebut. Dalam konteks membangun sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia, selain perlu melengkapi dan mempertegas materi peraturan perundangan, tak kalah pentingnya adalah mempertanyakan efektivitas kerja aparat penegak hukum pemilu. Aparat penegak hukum pemilu itu terdiri atas KPU selaku penyelenggara pemilu yang mempunyai wewenang memberikan sanksi terhadap para pelaku pelanggaran administrasi pemilu; Panwas Pemilu selaku pengawas yang diberi wewenang untuk memastikanada tidaknya pelanggaran pemilu dan menyelesaikan xv sengketa non- hasil pemilu; Mahkamah Konstitusi yang ditugaskan konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu; serta jajaran kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan yang masing-masing berwenang menyidik, mendakwa, dan menjatuhkan vonis terhadap pelaku pelanggaran pidana pemilu. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih lanjut dalam bentuk skripsi yang berjudul “KAJIAN YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN BAWASLU DALAMPELAKSANAAN PILPRES DI BANYUWANGI BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008” Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini meliputi 2 (dua) hal,yaitu :1.Apakah mekanisme pengawasan tentang Bawaslu yang dilakukan oleh bawaslu sesuai dengan undang-undang Nomor 42 Tahun 2008?2. Bagaimanakah peranan bawaslu Banyuwangi dalam penyelesaian sengketa pilpres2014?. Tujuan penulisan yang digunakan agar dalam penulisan skripsi ini dapat diperoleh sasaran yang dikehendaki, maka perlu ditetapkan suatu tujuan penulisan.Adapun tujuan penulisan disini dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum.Sedangkan analisis bahan hukum yang digunakan adalah dengan menggunakan metode deduktif. Adanya beberapa System politik demokratis menunjukan sebuah kebijakan umum yang di tentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang di awasi secara efektif oleh rakyat. Pengertian tentang demokrasi itu sendiri dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, demokrasi berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos yang berarti rakyat, dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah xvi bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Istilah demokrasi sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak yang disebut dengan istilah rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.subjectKAJIAN YURIDIS FUNGSI PENGAWASANen_US
dc.titleKAJIAN YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN BAWASLUDALAM PELAKSANAAN PILPRES DI BANYUWANGI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008en_US
dc.typeUndergraduat Thesisen_US
Appears in Collections:UT-Faculty of Law

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
090710101297_DANANG MAHALDI ARVIANTO_umi.pdf739.34 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.

Admin Tools