Please use this identifier to cite or link to this item: https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/6007
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.authorUBAI DILLAH-
dc.date.accessioned2013-12-07T05:24:44Z-
dc.date.available2013-12-07T05:24:44Z-
dc.date.issued2013-12-07-
dc.identifier.nimNIM090710101194-
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/6007-
dc.description.abstractPemerintah memiliki tanggungjawab dalam meminimalisir jumlah kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi. Pemerintah melakukan hal tersebut dengan cara mengembangkan kebijakan berkaitan dengan tindak pidana korupsi melalui pengaturan dalam Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya oleh penulis disebut Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999) telah mencerminkan tanggungjawab pemerintah dalam penegakan kasus korupsi secara baik. Tanggungjawab pemerintah ini dapat berjalan dengan baik apabila setiap orang di dalam pemerintahan tidak melakukan tindakan korupsi, namun tidak demikian yang dilakukan oleh Terdakwa dalam perkara yang menjadi pokok pembahasan skripsi ini. Terdakwa dalam perkara yang menjadi pokok pembahasan skripsi ini diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yaitu menerima sejumlah uang dari P.T Permai Group (yang selanjutnya oleh penulis disebut Permai Group), karena Terdakwa telah berhasil menggiring anggaran proyek di Kemendiknas dan di Kemenpora. Jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa adalah sebesar 5% dari seluruh jumlah total anggaran yang berhasil digiringnya, sesuai perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Tindakan terdakwa tersebut kemudian didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan alternatif. Dakwaan alternatif tersebut yaitu dakwaan primair atau dakwaan pertama adalah Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya oleh penulis disebut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001). Dakwaan subsidair atau dakwaan kedua adalah Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20Tahun 2001. Dakwaan lebih subsidair atau dakwaan ketiga adalah Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Unsur yang membedakan ketiga pasal yang didakwakan tersebut diatas, terletak pada unsur kewajiban dan unsur kewenangan. Menurut Penuntut Umum, terdakwa bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan kewajibannya seperti yang didakwakan dalam dakwaan pertama dan kedua, atau bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan kewajibannya. Ketiga dakwaan tersebut oleh Penuntut Umum juga dijunctokan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatur tentang pidana tambahan dan Pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang perbuatan berlanjut. Majelis hakim dalam perkara ini menetapkan dakwaan ketiga sebagai dakwaan yang paling tepat atau paling sesuai dengan perbuatan Terdakwa yang terbukti di persidangan. Menurut majelis hakim, tindakan Terdakwa melakukan korupsi itu bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban sesuai dakwaan pertama atau kedua, padahal menurut penulis Terdakwa telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, sehingga dakwaan pertama atau dakwaan kedua tersebut dapat dikenakan kepada Terdakwa. Selain itu pidana tambahan berupa uang pengganti sesuai dengan tuntutan Penuntut Umum tidak dijatuhkan sama sekali oleh majelis hakim meskipun majelis hakim memilih untuk menjatuhkan sanksi pidana penjara dan pidana denda kepada Terdakwa. xiii Terdapat 2 (dua) tujuan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan pertama adalah untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam perkara ini sudah sesuai dengan fakta persidangan atau tidak. Tujuan kedua adalah untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim yang tidak menjatuhkan pidana tambahan sudah sesuai dengan pasal yang dinyatakan terbukti dilakukan oleh Terdakwa atau tidak. Metode penulisan skripsi yang digunakan penulis adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu sumber bahan hukum primer dan sekunder. Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini pertama adalah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa sudah sesuai dengan fakta persidangan, namun terdapat kesalahan pemahaman terhadap dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa. Kedua adalah dasar pertimbangan hakim dengan tidak menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa merupakan suatu kesalahan, Jika majelis hakim memilih untuk menggunakan kedua jenis sanksi pidana yaitu pidana penjara dan pidana denda maka seharusnya sanksi pidana tambahan berupa uang pengganti juga turut dijatuhkan kepada terdakwa. Saran dari penulis, pertama adalah agar majelis hakim lebih memahami dan lebih mendalami lagi norma hukum yang digunakan dalam memutus suatu perkara. Kedua adalah hakim dapat memutus lebih tegas dan lebih berani dalam menjatuhkan sanksi pidana, terlebih dalam memberikan sanksi pidana tambahan kepada pelaku tindak pidana korupsi.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries090710101194;-
dc.subjectPUTUSAN HAKIMen_US
dc.titleANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TIDAK MENJATUHKAN PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (PUTUSAN NOMOR: 54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST)en_US
dc.typeOtheren_US
Appears in Collections:UT-Faculty of Law

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Ubai Dillah - 090710101194_1.pdf59.48 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.

Admin Tools