Please use this identifier to cite or link to this item:
https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/123345
Title: | Perlindungan Hukum pada Pasien Kecelakaan yang Mengalami Kondisi Tidak Sadar dalam Mendapatkan Tindakan Medis Tanpa Atnya Persetujuan (Informed Consent) yang Dilakukan Oleh Dokter |
Authors: | HARIS, Bayu Andhana |
Keywords: | Perlindungan Hukum Informed Consent Hukum Kesehatan Pelayanan Kesehatan |
Issue Date: | 19-Jan-2024 |
Publisher: | Fakultas Ilmu Hukum |
Abstract: | Perlindungan Hukum Pada Pasien Kecelakaan Yang Mengalami Kondisi Tidak Sadar Dalam Mendapatkan Tindakan Medis Tanpa Adanya Persetujuan (Informed Consent) Yang Dilakukan Oleh Dokter; Bayu Andhana Haris; 190710101421; 90 halaman; 2023; Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember Informed Consent adalah persetujuan Tindakan kedokteran yang diberikan kepada pasien atau keluarga pasien setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran dan kedokteran kedokteran gigi yang dilakukan terhadap pasien. Pada beberapa kasus kegawatdaruratan yang paling banyak muncul adalah pendarahan dan eklamasi, pada kegawatdaruratan seperti ini diperlukan tindakan yang mengharuskan seorang tenaga medis bertindak cepat dan tanggap. Masalah kemudian terjadi ketika tindakan yang dilakukan memiliki resiko tinggi yang mengharuskan tenaga medis meminta persetujuan terlebih dahulu. Karena setiap orang berhak mendapatkan informasi kesehatan termasuk juga tindakan medis yang telah diberikan maupun yang akan diberikan oleh tenaga medis. Hal tersebut menjadikan seorang dokter menjadi dilema, jika tanpa adanya Informed Consent akan menjadi pelanggaran Standar Operasional Prosedur, tetapi jika menunggu meminta Informed Consent terlebih dahulu maka nyawa pasien tidak bisa terselamatkan. Kelengkapan pengisian persetujuan tindakan (Informed Consent) juga sangat penting dan dapat menjadi masalah karena mempengaruhi aspek hukum rekam medis dan mutu rekam medis sehingga diperlukan pelaksanaan yang maksimal untuk pengisian persetujuan tindakan (Informed Consent) serta mengetahui faktor penyebab ketidakmaksimalan dalam pengisian persetujuan tindakan (Informed Consent). Jika formulir persetujuan tidak diisi lengkap, maka mengakibatkan isi formulir persetujuan tindakan kedokteran tidak akurat, tidak tepat dan berdampak pada sifat legal dari formulir persetujuan tindakan kedokteran bila dikemudian hari terjadi perselisihan antara pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menuliskan tiga rumusan masalah yaitu: bagaimana bentuk perlindungan hukum pada seorang pasien kecelakaan dalam kondisi tidak sadar yang mendapatkan tindakan medis tanpa adanya persetujuan (Informed Consent)?, bentuk tanggung jawab apakah yang dilakukan oleh seorang dokter jika terjadi hal yang merugikan pasien tersebut ?, bagaimana upaya penyelesaian sengketa antara pasien dan dokter jika terjadi hal yang merugikan pasien?. Penelitian skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder dengan menggunakan metode pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan (library research) dengan analisis penelitian menggunakan metode deduktif. Hasil Penelitian dari skripsi ini dapat diketahui pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, dimana dalam suatu keadaan gawat darurat tidak diperlukan informed consent, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MenKes/PER/III/2008 Pasal 12 yang menegaskan yaitu Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Consent ini dinamakan implied consent dan dalam keadaan gawat darurat dinamakan constructive consent untuk membedakan dengan implied consent lainnya. Selanjutnya, dalam hal dokter melakukan suatu wanprestasi terhadap kesepakatan yang telah ditentukan bersama, maka seorang dokter tersebut haruslah bertanggungjawab secara hukum dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada pasien, dan apabila dokter melakukan kesalahan atau kelalaian sehingga menimbulkan sesuatu yang merugikan pasien maka tanggungjawab yang harus diberikan adalah berupa hukuman pidana sesuai dengan seberapa berat kesalahan yang diperbuatnya. Selain itu juga sanksi yang diberikan dapat berupa pencabutan Surat Izin Praktek atau Surat Izin Register dokter. Penyelesaian perkara ingkar janji yang dilakukan oleh dokter dalam transaksi terapeutik, biasanya diprioritaskan secara kekeluargaan diluar pengadilan, yaitu melalui negosiasi maupun mediasi dengan mediator dari pihak keluarganya sendiri. Kesimpulan dari skripsi ini yaitu Pertama, bentuk perlindungan hukum pada seorang pasien kecelakaan dalam kondisi tidak sadar yang mendapatkan tindakan medis tanpa adanya persetujuan (Informed Consent) telah diatur dalam KUHPerdata Pasal 1365 dan 1367 mengenai pertanggungjawaban seorang tenaga medis terhadap pasien, serta dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Peraturan diatas menjadi payung hukum atas semua tindakan dokter atau tenaga medis terhadap pasien bilamana suatu tindakan tersebut merugikan atau ditemuinya suatu kelalaian tindakan tenaga medis terhadap pasien. Kedua, tanggung jawab yang dilakukan oleh seorang dokter jika terjadi hal yang merugikan pasien adalah memberikan tanggung jawab hukum baik secara perdata maupun pidana, dalam tanggung jawa secara perdata adalah seorang tenaga medis haruslah memberikan ganti rugi atau kompensasi atas akibat dari kelalaian tindakan yang dilakukannya. Dalam ranah pidana, tanggung jawab tenaga medis dapat dilihat dari seberapa berat kesalahan atau kelalaian yang diperbuatnya dan mendapatkan hukuman atas tindakan lalainya tersebut. Ketiga, upaya penyelesaian sengketa antara pasien dan dokter jika terjadi hal yang merugikan pasien adalah dengan memprioritaskan penyelesaian secara kekeluargaan diluar pengadilan, melalui negosiasi maupun mediasi dengan kedua belah pihak terkait. Saran yang penulis berikan dalam skripsi ini adalah yaitu, Pertama, untuk pemerintah dan penegak hukum bahwa seluruh sengketa antara dokter dengan pasien dapat dilakukan dengan menggunakan instrument hukum yang spesifik terkait dengan kesehatan dan kedokteran, Kedua, dokter atau rumah sakit, harus memiliki pemahaman mengenai hukum kesehatan agar dalam pemberian informed consent mengetahui hak dan kewajiban masingmasing pihaknya sehingga kedepannya tidak akan timbul kerugian yang dialami oleh salah satu pihak. Ketiga, tenaga medis harus melakukan tindakan medis sesuai dengan apa yang diatur dalam kode etik dan standar operasi yang ada, tidak lepas dari itu juga harus melakukan tindakan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia. |
Description: | Finalisasi repositori tanggal 12 Agustus 2024_Kurnadi_Lana |
URI: | https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/123345 |
Appears in Collections: | UT-Faculty of Law |
Files in This Item:
File | Description | Size | Format | |
---|---|---|---|---|
BENDEL FIX BARU SKRIPSI BAYU ANDHANA HARIS 190710101421.pdf Until 2028-10-24 | 633.44 kB | Adobe PDF | View/Open Request a copy |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.
Admin Tools