Please use this identifier to cite or link to this item: https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/121891
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.authorROFII, Wildan-
dc.date.accessioned2024-07-10T07:08:50Z-
dc.date.available2024-07-10T07:08:50Z-
dc.date.issued2023-06-19-
dc.identifier.nim160910101061en_US
dc.identifier.urihttps://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/121891-
dc.description.abstractFilipina menjadi salah satu negara yang paling terdampak dari adanya Covid-19. Filipina sempat menjadi negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. Rodrigo Duterte selaku presiden kala itu mengeluarkan berbagai kebijakan dan melakukan berbagai strategi demi memulihkan kembali negara dari dampak Covid-19. Salah satu cara paling ampuh untuk mencapai kestabilan kembali adalah dengan terpenuhinya vaksinasi di masyarakat. Vaksinasi digunakan untuk mencapai herd-immunity dalam masyarakat disuatu negara. Namun, karena terbatasnya pasokan vaksin didunia membuat negara-negara berlomba untuk mendapatkan vaksin. China dan Amerika Serikat merupakan dua negara yang sedari awal sudah menyiapkan fasilitas dalam memproduksi vaksin. Sebagai negara produsen, tentunya menjadikan kedua negara tersebut memiliki posisi penting dalam hubungan kerjasama dengan antar negara. Kedua negara tersebut pada akhirnya kerap kali menjadikan vaksin sebagai alat diplomasi kepentingannya. Misalnya, China untuk memperkuat pengaruh dan memperbaiki citra dirinya di dunia internasional pasca stigma buruk Covid yang berasal dari Wuhan. Begitupun Amerika Serikat yang memperkuat pengaruhnya di berbegai negara. Secara historis Duterte memang sangat dekat dengan China, sehingga China menjadi negara pertama yang memberikan bantuan Vaksin Covid-19 kepada Filipina. Namun, bantuan vaksin Sinovac dari China mendapatkan respon negatif dari mayoritas warga Filipina. Akhirnya, Duterte berusaha membuka kerjasama dengan Amerika Serikat demi mendapatkan bantuan vaksin. Duterte bahkan ingin membuka kembali pembicaraan kesepakatan perpanjangan akan Visiting Forces Agreement (VFA) yang sempat ditangguhkan pada tahun 2020. VFA akhirnya menjadi jalan tengah antara Filipina dan Amerika Serikat. Dari hasil penelitian kemudian ditemukan bahwa dalam pengambilan keputusan Duterte dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu 1) Kondisi Internal, yaitu masyarakat lebih percaya pada vaksin dari Amerika Serikat, 2) Ekonomi dan militer yang kala itu China menjadi mitra dekatnya dan Amerika Serikat mitra keamanan internasionalnya sehingga mengharuskan Filipina menjaga hubungan dengan negara mitra, 3) dan kondisi internasional yang menuntut setiap negara berlomba untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Berlandaskan hal tersebut maka ditemukan bahwa alasan Duterte dalam meminta bantuan vaksin dari Amerika Serikat adalah untuk memenuhi kepercayaan vaksin masyarakat Filipinaen_US
dc.description.sponsorshipAgus Trihartono, S. Sos., M.A., Ph.D Fuat Albayumi, SIP., M.A.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherIlmu Sosial dan Ilmu Politiken_US
dc.subjectCOVID-19en_US
dc.subjectRODRIGO DUTERTEen_US
dc.subjectDECISION MAKINGen_US
dc.subjectVACCINEen_US
dc.titlePolitik Covid-19 Rodrigo Duterteen_US
dc.typeSkripsien_US
dc.identifier.prodiHubungan Internasionalen_US
dc.identifier.pembimbing1Agus Trihartono, S. Sos., M.A., Ph.Den_US
dc.identifier.pembimbing2Fuat Albayumi, SIP., M.A.en_US
dc.identifier.validatorvalidasi_repo_iswahyudi_Januari_2024_11en_US
Appears in Collections:UT-Faculty of Social and Political Sciences

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
WILDAN ROFII - 160910101061.pdf1.21 MBAdobe PDFView/Open
WILDAN ROFII - 160910101061.pdf1.21 MBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.

Admin Tools