Please use this identifier to cite or link to this item: https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/12173
Title: INSIP-PRINSIP HUKUM TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT DENGAN KAPAL LAYAR
Authors: AGUSTIN LENI MAGDALEN ROHI RIWU
Keywords: PRINSIP HUKUM TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT DENGAN KAPAL LAYAR
Issue Date: 24-Dec-2013
Series/Report no.: 090720101008;
Abstract: Peningkatan kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi, berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan di bidang pengangkutan. Sehingga mendorong perkembangan dibidang teknologi, sarana dan prasarana pengangkutan, ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang pengangkutan, serta hukum pengangkutan. Perjanjian pengangkutan barang melalui laut adalah perjanjian yang didasari pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang juga merupakan syarat sahnya suatu perjanjian. Dan Prinsip-prinsip dalam perjanjian yang antara lain, Konsensualitas, Kebebasan Berkontrak, Kekuatan mengikat atau Pacta sunt servanda, Itikad baik, Kepribadian. Perjanjian tersebut menimbulkah tanggung jawab masing-masing subjeknya seperti ditegaskan dalam Pasal 468 KUHDagang dan Pasal 41 ayat (3) UU no 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran. Dalam prakteknya ditemui adanya pengalihan tanggung jawab dari pihak pengangkut kepada pihak penerima, dengnan klausula-klausula yang ditetapkan dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut dengan kapal layar yang menerapkan standar kontrak, oleh karena itu permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Apakah Perjanjian Pengangkutan barang melalui laut dengan kapal layar, telah sesuai dengan prinsip – prinsip dalam perjanjian ? 2) Apakah Keterlambatan Penyerahan Barang dari pengangkut kepada penerima, telah sesuai dengan prinsip tanggung jawab yang diatur dalam UU no 17 tahun 2008 tentang Pelayaran ? 3) Apakah Resiko dalam pengangkutan barang melalui laut dengan kapal layar, mengakibatkan Pengalihan tanggung jawab Dari pengangkut kepada pengirim ?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1) Mengkaji dan menganalisa Perjanjian pengangkutan barang melalui laut dengan kapal layar apakah telah sesuai dengan prinsip-psinsip dasar perjanjian; 2) Mengevaluasi dan mengkritisi tanggung jawab pengangkut dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut dalam perjanjian pengangkutan barang tersebut apakah telah sesuai dengan prinsip tanggung jawab dalam UU no 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran; 3) Mengkaji dan menganalisis Resiko yang mengakibatkan pengalihan tanggung jawab pengangkut dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut dengan Kapal layar apakah bertentangan dengan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam UU no 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran. Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan katan perundang-undangan (statute approach). yang mengumpulkan bahan hukum Primer, bahan hukum sekunder serta bahan non hukum cara studi pustaka. Hasil penelitian yang dicapai adalah 1) Perjanjian Pengangkutan barang melalui laut dengan kapal layar dalam praktek menerapkan perjanjian baku, Sehingga pihak pengirim barang atau pemilik barang, tidak diberi kesempatan untuk membicarakan isi perjanjian dan tidak boleh menambahkan ataupun mengurangi isi perjanjian. Terdesak oleh kebutuhannya akan pengangkutan barang maka pengirim terpaksa menandatangani perjanjian xii pengangkutan tersebut. Sehingga Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut Dengan Kapal Layar, tidak sesuai dengan Prinsip Itikad Baik. Sebab prinsip itikad baik sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338 ayat (3), bertujuan untuk mencegah perbuatan yang tidak patut. Merujuk pada teorinya Pitlo bahwa, Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa ( dwang contract), maka Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut Dengan Kapal Layar mengandung unsur paksaan sehingga bertentangan dengan kepatutan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1323 KUHPerdata. 2) Keterlambatan penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima tidak sesuai dengan prinsip tanggung jawab pengangkut. Prinsip tersebut diatur dalam Pasal 468 KUHD dan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yang menegaskan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas keterlambatan penyerahan barang kepada penerima. Namun dalam penerapannya pengangkut mengalihkan tanggung jawabnya kepada penerima dengan membebankan biaya-biaya yang timbul akibat panjangnya waktu tunggu kapal dalam mengantri bongkar muatan dipelabuhan. 3) Risiko dalam Pengangkutan Barang Melalui Laut Dengan Kapal Layar timbul karena pengangkut tidak melaksanakan prestasi yang dibebankan kepadanya. Keadaan memaksa, kelalaian dan Avarai merupakan penyebab Pengangkut tidak dapat melaksanakan prestasinya. Risiko karena keadaaan memaksa maka pengangkut dibebaskan dari tanggung jawabnya. Sedangkan risiko karena kelalaian dan avarai merupakan tanggung jawab pengangkut, akan tetapi risiko ini sering menimbulkan pengalihan tanggung jawab dari pengangkut kepada pengirim. Sehingga Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, mewajibkan pelaksanaan Asuransi barang. Asuransi merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap barang angkutan tersebut, bertujuan untuk menggantikan pengangkut dalam memberi ganti rugi kepada pemilik barang atau pengirim, atas kerugian yang terjadi dalam penyelenggaraan pengangkutan barang melalui laut. Berdasarkan hasil penelitian, adapun saran yang ditujukan kepada Pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk lebih memperhatikan pelayaran rakyat yang kapal layar dan masih bersifat tradisional. Sebab Undang-Undang Nomor. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran tidak mengakomodir tentang Pengangkutan Dengan Kapal Layar, Terutama dalam Pelaksanaan Asuransi terhadap barang muatan.Sehingga Pemerintah daerah direkomendasikan untuk mengeluarkan Peraturann daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengatur tentang Pelayaran rakyat. ..Increased needs of the community will be a means of transport, affect the development progress in the field of transport. So in the field of technology, promote the development of infrastructure and facilities, transportation science that studies of transport, as well as the law of carriage. Haulage by sea agreement is an agreement based on the provisions of article 1320 KUHPerdata which is also the terms of an agreement as valid. And principles in the agreement, which among other things, freedom of Berkontrak, Konsensualitas, the force of law or Pacta sunt servanda, good faith, personality. The Treaty menimbulkah the responsibility of each subject as defined in article KUHDagang and article 41 468 paragraph (3) of law No. 17 of 2008 About a cruise. In practice found to transfer responsibility for third-party carrier to your recipient, dengnan clause-a clause set out in the Treaty of haulage by sea with the sailing ship that implements the standard contracts, Therefore the issue was examined in this study are as follows: 1) If the agreement through the sea haulage by sailing ship, has been in accordance with the principle – the principle in the Treaty? 2) whether the delay in the delivery of goods from the carrier to the recipient, has been in accordance with the principle of responsibility provided for in law no 5 of 2008 about a cruise? 3) is a risk in haulage by sea by sailing ship, resulting in the transfer of the responsibility Of the carrier to the sender?. Objectives to be achieved in this research are: 1) review and analyze the haulage Agreement through the sea by sailing ship would have been in accord with the basic Treaty psinsip; 2) Evaluating and critiquing the responsibility of the carrier in the carriage of goods by sea in the carriage of such goods has been in accordance with the principle of liability in law No. 17 of 2008 About a cruise; 3) review and analyze the risks that result in the transfer of the responsibility of the carrier haulage by sea by sailing ship is contrary to the principle of liability of carrier in Act No. 17 of 2008 About a cruise. The methods used in the study of this thesis is normative, juridical research with other statutory approach (statute approach). which collect Primary law, secondary legal materials as well as non-material way law library studies. The research results achieved are 1) Treaty of haulage by sea by sailing ship in the practice of applying the Treaty, so that the raw sender of goods or the owner of the goods, are not given the opportunity to discuss the content of the agreement and may not add or reduce the content of the agreement. Pressed by his needs would haulage then sender is forced to sign an agreement to carry. So the agreement Through the sea Haulage By sailing ship, is not in accordance with the principle of good faith. For the principle of good faith as defined in article 1338 of paragraph (3), aiming to prevent inappropriate actions. Referring to his theory, the agreement Pitlo that raw is the forced agreement (dwang contract), then the Treaty of Haulage by sea By sailing ship containing elements of coercion that is contrary to propriety as defined in section 1323 KUHPerdata. 2) the delay in the delivery of goods of the carrier to the recipient does not comply with the principle of the responsibility of the carrier. The principles set forth in Article 468 KUHD and section 41 subsection (1) Act No. 17 of 2008 About the cruise, which confirms xiv that the carrier is responsible for the delay in the delivery of goods to the recipient. But in its application the carrier shifted responsibility to the recipient by charging the expenses incurred due to the length of waiting time in queue for loading and unloading of cargo ship in the port. 3) risk in Haulage by sea By sailing ship arising because the carrier does not implement the achievements made to him. The circumstances forcing, carelessness and Avarai is the cause of the carrier cannot carry out his achievements. Risks due to the keadaaan forced the carrier was released from her responsibilities. Whereas the risk due to neglect and avarai is the responsibility of the carrier, but this often raises the risk of transfer of the responsibility of the carrier to the sender. So that Article 41 paragraph (3) Act No. 17 of 2008 About a cruise, enjoins the insurance of goods. Insurance is a form of legal protection for such transport, aims to replace the carrier to give redress to the owner of the goods or the sender, for any damage that occurs in organizing transport of goods by sea. Based on research results, as for the suggestion, addressed to the local Government of East Nusa Tenggara province to pay more attention to the cruise ship sails and that people still traditional. For Tax Law. 17 in 2008 About the cruise did not accommodate about Transport By sailing ship, Especially in the implementation of Insurance for the charge.So local governments are recommended to take out the Peraturann area of East Nusa Tenggara province which is set on a cruise of the people.
URI: http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/12173
Appears in Collections:UT-Faculty of Teacher Training and Education

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Agustin L. M. Rohi Riwu - 090720101008_1.pdf289.6 kBAdobe PDFView/Open


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.

Admin Tools