Please use this identifier to cite or link to this item: https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/107375
Title: Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penetapan Harga Obat Generik Bermerek dan Tidak Bermerek oleh Perusahaan Farmasi di Indonesia
Authors: CAHYANI, Amalia Anggita
Keywords: Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Penetapan Harga Obat Generik Bermerek
Tidak Bermerek
Perusahaan Farmasi
Issue Date: 20-Jun-2021
Publisher: Fakultas Hukum
Abstract: Pengertian persaingan usaha tidak sehat dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berupa persaingan antar peserta perdagangan dalam kegiatan produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa yang tidak jujur atau melanggar hukum. Adanya persaingan akan mencegah terkonsentrasinya kekuatan pasar pada satu atau beberapa perusahaan. Artinya konsumen memiliki banyak pilihan ketika memilih barang dan jasa yang diproduksi oleh banyak produsen, sehingga harga sebenarnya akan ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar, bukan oleh faktor lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa adanya persaingan memungkinkan terjadinya penyebaran kekuatan pasar, membuka peluang usaha, dan memberikan peluang bagi pengembangan dan peningkatan kewirausahaan yang akan menjadi modal utama kegiatan pembangunan ekonomi nasional. Kesehatan adalah hak asasi manusia, dan pencapaiannya adalah tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, penyediaan obat dan pelayanan kesehatan harus memiliki tujuan sosial. Upaya pemerintah untuk melakukan intervensi di bidang kesehatan antara lain akses terhadap obatobatan dan obat-obatan yang terjangkau harganya. Namun, jika upaya ini dibiarkan pada kebebasan pasar, tujuan mencari keuntungan akan menjadi lebih dominan. Mekanisme pasar obat jelas berbeda dengan produk lain. Posisi tawar konsumen bisa dikatakan nol. Dari segi keterjangkauan, harga obat di Indonesia secara umum tergolong mahal, dan struktur harga obat tidak transparan. Hasil penelitian WHO menunjukkan bahwa rasio harga obat yang sama antara satu nama merek dengan merek lain adalah 1: 2 berbanding 1: 5. Artinya, harga obat generik bermerek bisa mencapai 5 kali lipat harga obat generik. Studi di atas juga membandingkan harga obat dengan merk dan obat generik, ternyata obat generik bukan yang termurah. Situasi ini antara lain menggambarkan pentingnya kebijakan pemerintah dalam menentukan harga obat. Pada tanggal 7 Februari 2006, Menteri Kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 069 Tahun 2006 (Menkes / SK / II / 2006) tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi (HET) obat dalam kemasan obat. Perintah menteri bertujuan untuk memberikan konsumen harga obat yang lebih transparan. HET dihitung dengan menambahkan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% ke harga bersih obat di apotek, ditambah deposit 25% di apotek. Kekuatan pemerintah untuk mengatur harga obat sebenarnya sangat kecil. Dibandingkan dengan ribuan obat yang beredar, pemerintah hanya berwenang menyesuaikan harga obat dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang diperbarui setiap dua tahun. Dari 232 obat generik di Indonesia, DOEN hanya 153. Bertentangan dengan regulasi badan pemerintah yang mengatur harga obat, regulasi yang memuat kewajiban HET dapat sejalan dengan UU Kesehatan khususnya PP No. 72 tahun 1998 tentang perlindungan sediaan farmasi dan alat kesehatan terutama dalam hal penandaan dan iklan. Menteri Kesehatan dalam laman resmi Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa selama ini harga obat generik bermerek di Indonesia tergolong tinggi, enam hingga delapan kali lipat dari harga obat generik biasa, sehingga menjadi harga tertinggi obat generik bermerek. adalah harga obat generik biasa. tiga kali lipat. Pada saat yang sama, harga obat generik bermerek ditetapkan hanya untuk 31 jenis obat, meliputi kurang lebih 1.400 sediaan farmasi dari berbagai industri. Setelah ditentukan batasan harga maksimal obat, harga obat generik bermerek saat ini turun 10% menjadi 70% dari harga sebelumnya. Fokus kajian ini sekaligus mengkaji dugaan pengendalian harga di industri farmasi. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan yang besar antara harga obat generik bermerek dan obat generik tidak bermerek. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan zat efektif antara obat generik bermerek dan obat generik tidak bermerek. Menurut Ketua KPPU, mahalnya harga obat bisa jadi disebabkan berbagai sebab. Pertama, adanya praktik bisnis yang mengarah pada persaingan tidak sehat, seperti kartel; kedua, penyalahgunaan posisi dominan, dan ketiga, akibat kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Sepertinya kebijakan tersebut tidak ada atau terlalu banyak kebijakan. Kemudian, obat generik tidak bermerek atau obat generik umumnya mengacu pada obat yang menggunakan nama bahan aktifnya dan mencantumkan logo lingkaran bergaris hijau pada kemasan obatnya. Merek dagang tersebut akan menampilkan logo khusus produsen obat bila obat yang digunakan Obat paten , atau yang lebih sering disebut obat bermerek, adalah obat yang memiliki merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara obat generik tidak bermerek dan obat generik bermerek. Satu-satunya perbedaan adalah sifatnya yang universal, yang satu adalah merek dagang dan yang lainnya adalah merek non-merek. Untuk kategori pengobatan tertentu, perbedaan harga yang signifikan (tidak ada perbedaan efikasi) antara obat generik tidak bermerek dan obat generik bermerek menunjukkan bahwa produsen obat telah menyalahgunakan pangsa pasar kepada konsumen. Saking mahalnya harga tersebut, terlihat dari ketidakpastian harga obat generik oleh pemerintah. Bedanya hanya ada labelnya, jadi harganya tidak boleh berkali-kali lipat lebih mahal hanya karena tidak ada labelnya.
URI: http://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/107375
Appears in Collections:UT-Faculty of Law

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
170710101432.pdf
  Until 2027-04-14
1.34 MBAdobe PDFView/Open Request a copy


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.

Admin Tools