Please use this identifier to cite or link to this item:
https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/104025
Title: | Darurat kesehatandan kepatuhan masyarakat |
Authors: | MUHSHI, Adam |
Keywords: | Darurat Kesehatandan Kepatuhan Masyarakat |
Issue Date: | 1-Apr-2020 |
Abstract: | ituasi virus korona (Covid-19) terkini di Indonesia yang positif 1.046 orang, sembuh 46 orang, dan meninggal 87 orang (covid19.go.id, 27 Maret 2020). Untuk menekan penyebaran virus korona tersebut, Menkopolhukam telah meminta aparat untuk menindak tegas terhadap pelanggar kebijakan pemerintah tentang larangan membuat pengumpulan atau kerumunan orang. Sejalan dengan itu, Kapolritelah pula mengeluarkan maklumattentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam penanganan PenyebaranVirusCorona(Covid-19). Tindakan Menkopolhukam danKapolritersebuttentu saja tidak terlepas dari kebijakan PresidenJokowi yangmenerapkan social distancing dalam menghadapi pandemi korona. Kebijakan social distancing tersebutmenjadisuatukeniscayaan dalam rangka mencegah semakinmeluasnyapenyebaranvirus korona. Sebab,menjaga keselamatan rakyat dari penyebaran viruskoronaagartidakmenelan korban jiwa yang lebih banyak lagimerupakanhukumtertinggi (saluspopulisupremalex). SocialDistancing Penetapan social distancing tersebut seyogianyatidakperlu Presiden yang mengeluarkannya, tetapi cukup dilakukan oleh Menteri Kesehatan. Dikatakan demikian, karena kewenangan tersebut secara atributif telah diberikan kepada MenteriKesehatan melalui ketentuan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU KK). Namun, tentu saja kebijakan yang langsung diambil oleh Presiden tidakkemudianbermasalahsecara yuridis mengingat ia memang memiliki kekuasaan sebagai penanggung jawab tertinggi dalam rangka menjaga keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat berdasarkan ketentuan Pasal 4 UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal4UUD1945tersebut,Presidentelahmenerapkanprinsip keselamatanrakyatmerupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex) sebagai dasar dalam penetapan social distancing diIndonesia. Kebijakan yang populer dengan istilah social distancing tersebut sebenarnya dalam UU KKdisebut sebagai“pembatasansosialberskalabesar”.Dalam hal ini, Pasal 1 angka 11UUKK menentukan bahwa “PembatasanSosialBerskalaBesaradalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atauterkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”. Socialdistancing merupakan salah satu dari empattindakan mitigasi yang dapat diambil oleh pemerintah dalam rangka mengurangirisiko pada situasi kedaruratan kesehatan masyarakat. Selain social distancing, tiga tindakan mitigasi lainnya yang dapat diterapkan oleh pemerintah dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU KK adalah karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantinawilayah.Dalam kasus pandemi korona, pemerintah baru menerapkan social distancing saja,sedangkantigajenis tindakan mitigasi lainnya sampai saat ini belumditerapkan. Sejauh ini, social distancing dilaksanakan dengan cara meliburkan sekolah, sistem kuliah daring, bekerja dari rumah (work from home), pembatasan kegiatan keagamaan seperti salat Jumat serta pembatasan kegiatan yang melibatkan banyak orang dan menimbulkan kerumunan. Peliburan sekolah dan bentukbentuk pembatasan tersebut merupakan tindakan minimal yang memang harus dilakukan pemerintah ketika memberlakukan social distancing sebagaimana telah diamanahkan dalam Pasal 59 ayat(3)UUKK. Bersamaan dengan pembatasan-pembatasan tersebut, pemerintah telah pula menerapkanisolasiterhadaporangyang telah positif terjangkit virus korona. Pasal 1 angka 7UUKK menyatakan bahwa “Isolasi adalah pemisahan orang sakit dariorangsehatyangdilakukan difasilitaspelayanankesehatan untukmendapatkanpengobatandanperawatan”. Social distancing tersebut tentu saja berbeda dengan karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantinawilayah. Social distancing tidak menimbulkan kewajiban bagi pemerintah untuk menanggung kebutuhan dasar orang yang terdampak kebijakan tersebut, sedangkantindakankarantina, baik karantina rumah, karantina rumahsakit,maupunkarantina wilayah menimbulkan tanggung jawab bagi pemerintahuntukmenanggung kebutuhandasar orang-orang yang sedangdikarantina. Kepatuhan Social distancing yang telah dipiliholehPresidensebagaisebuah keputusan dalam rangka melaksanakan tanggung jawabnya untuk menjaga keselamatan publik tersebut, secara moral wajib kita patuhi bersama. Kepatuhan terhadapnya bukanhanyakarena takut akan ditindakolehaparat,tetapijauh melampauiituia sebagaiwujud nyata daritanggung jawab setiap warga negara yang telah bersepakat untuk hidup bernegara dalam mencapai tujuan bersama berdasarkan Konstitusi,UUD1945. Lebih dari itu, kebijakan pemerintahyanghanyasebatas menerapkan social distancing tentunya telah diambil berdasarkan serangkaian pertimbangan yang terukur dan mendalam demi keselamatan rakyat. Pertimbangan tidak hanya epidemiologi, tetapi pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti pertimbangan efektivitas, ekonomi, sosial, budaya, dukungan sumber daya, besarnya ancaman, dan keamanan tentunya telah diperhatikan pula berdasarkan perintah Pasal49ayat(2)UUKK. Ketepatan pertimbanganyangtelah dijadikan sebagai dasar oleh pemerintah dalam menjatuhkan pilihanpada socialdistancing sangat penting untuk kita yakini dan dukung bersama. Social distancing perlu kita yakini sebagai sebuah pilihan yang tepat karena pemerintah memiliki sarana dan prasarana yanglengkapuntukmelakukan kajian secara komprehensif dalammengambilsuatukebijakan. Lengkapnya instrumen pemerintahanberupa sarana dan prasarana tersebut berfungsi dalamrangkamendukungsumberdayamanusiayangberadadi tubuh pemerintah dalam memadukan berbagai keilmuan dan keahliannya masing-masing untuk mengambil sebuah keputusan,yaitusocialdistancing. Lagipulakebijakantersebut kemudian telah didukung pula denganberbagaibantuansosial yang akan digelontorkan oleh pemerintah. Bantuan sosial ini sebagai sebuah bukti tentang iktikad baik pemerintah untuk melakukan penyelamatan bagi setiapwarga negara.Kebijakan pemberian bantuan sosial ini setidaknya akan menjadi sedikitobatampuhbagimasyarakat yang sedang dihantui oleh ancaman virus korona terhadap perekonomian (penghasilan) mereka. Ancaman terhadap perekonomianinimungkinsaja jauhlebihmengerikandaripada ancaman kesehatan bagiwarga masyarakat yang hidupnya hanya tergantung pada pekerjaan dan penghasilan harian. Dengan iktikad baik yang telah ditunjukkan pemerintah tersebut, masihkah kita ragu,tidak percaya, dan tidak akan patuh padakebijakansocialdistancing? Kepatuhan pada kebijakan socialdistancing merupakankebaikanbersamabagikitauntuk menghambat semakin meluasnya penularan virus korona. Abainya kita terhadap kebijakan tersebut, sama halnya dengan memberi kesempatan kepada virus korona untuk terus merangsek masuk ke setiapsudutnegeriini.Apabilakemungkinan terburuk itu terjadi, bukan tidak mungkin pemerintah harus meningkatkan kebijakannya menjadi karantinawilayahyangpopulerdengan sebutan lockdown. Lockdown tentu saja tidak lagi memberikan ruang gerak yang luas bagi masyarakat untuk beraktivitas sehingga menimbulkan kewajiban bagi pemerintah untuk menanggung dan memenuhi semua kebutuhan dasar warganya yangsedangdi-lockdown. Pertanyaannyaadalahmampukah perekonomian negara kita saat ini untuk memikul tanggungjawabitu? Namun, kepatuhan untuk melaksanakan kebijakan social distancing tidak bermakna tertutupnya ruang kritik secara ilmiah oleh publik.Kritik merupakansuatukeniscayaandalam sebuahnegarayangdemokratis yang dapat berfungsi dan digunakansebagaibahanevaluasi dan perbaikan bagi kebijakan pemerintah. Kritik secara ilmiahdenganberbagaiperspektif sesuai dengan keilmuan, keahlian, dan kapasitas masingmasing warga tentu saja berbeda dengan kritik tanpa didasari keilmuan yang dapat dengan mudah kita temui bertebarandiberbagaimediasosial saat ini. Bahkan, tidak sedikit kritik jenis terakhirini bersifat provokatif yang alih-alih berkontribusi untuk memperbaiki keadaan tetapi justru sebaliknya ia berkontribusi dalam menciptakankeadaansemakin keruhdanmencekam. Kritik, pendapat, dan/atau solusi yang tidak sesuai dengan bidang keilmuan dan kapasitas orang yang menyampaikannya tersebut mengingatkan saya pada dawuh salah satu guru saya,“Kicau burung tak sesuai jenisnya”. Tentu saja masyarakat tidak pernah bermimpi untuk membaca dan mendengarkan ulasan dari seorang sarjana hukum seperti saya tentang virus korona berikut mutasinya serta preskripsi dalam mencegah dan mengobatiorang yang telahterjangkit virus tersebut. Akhirnya saya berharap tulisan ini tidak terkategorikan sebagai kicau burung yang tak sesuai dengan jenisnya.Semoga! p elum lama memancing kehebohan dengan niatan melakukan tes cepatdanmassal(rapid test)lebih dulu dari rakyat, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membuat kontroversi baru. DPR dan pemerintah saatini sedang sibuk mengesahkan aturan bermasalahditengahmewabahnyavirus korona. Aturan itu meliputi RUU Cipta Kerja (Omnibus Law), RUU Pemasyarakatan, RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Minerba, danRKUHP. Padahal, masih banyak PR yang harus dikerjakan, seperti masalah PHK pekerja akibat karantina wilayah,aksestesyangterbatas, dan perlengkapan APD yang minim. Apalagi, banyak dari “pasal-pasal titipan” RUU itu hanya menguntungkan pihak tertentu. Itu artinya, rakyat yang paling dirugikan kalau sampaiRUU-RUUitu disahkan (ViollaReininda,2020). Dalam kaitan itu,wajarjika Violla Reininda (Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan,Konstitusi danDemokrasiInisiatif) melaluichange.org mengajukan petisi dengan isi, “DPR, Stop Bahas RUU Kontroversial di Tengah Wabah Corona!” Hemat saya, petisi tersebut penting diajukan mengingat sampai saat kolom Opini ini ditulis, Minggu (12/4), jumlah pasien positif terinfeksi virus korona di Indonesiatelahmencapai4.241 kasus. Korban meninggal 373 orang dan yang sembuh 359 orang. Dengan terus bertambahnya pasien yang terinfeksi dengan mereka yang meninggal, anggota DPR semestinya terketuk hatinya. Mereka dituntut empatinya untuk ikut membantu rakyat. Persoalannya, apakah para wakil rakyat itumenyadaripenderitaanrakyatnya ditengah menyebarnya virus korona? Saya khawatir dengan niatan yang seperti itu, jawabannya tidak.Ini bisa terjadi, hemat saya, karena anggotaDPRitu terjebak ke dalam apa yang saya sebut sebagai penjarapolitik. PenjaraPolitik Istilah penjara politik yang saya gunakan untuk menggambarkan tingkah laku DPR ini sesungguhnya mengadopsi istilah daritokoh revolusioner IranAliShariatitentangpenjara manusia.Dalam buku kumpulantulisannyayangberjudulTugas Cendekiawan Muslim (1996),Shariatimengupassatu bahasan mengenai empat penjara manusia. Dalam penjara keempat, Shariati menegaskan bahwapenjara yangpaling sulit diatasiolehmanusiaadalahego. Bagi Shariati, bangkit dari penjaragelapyangadadidalam diri manusia merupakan tugas yang paling menantang, terutama sekali di abad ilmu dan teknologi informasi seperti sekarang ini. Belum pernah sebelumnya manusia kelihatan begitulumpuh,lesu,dantanpaharapan dalam penjara inisebagaimanakeadaannya sekarang, kendatipun ia telah berhasil menunjukkan kemajuan yang mengesankan dalam berbagai bidang kehidupan eksternalnya. Namun, secara internal, manusia sering menjadi tawanan egonya sendiri. Akibat dari pemenjaraan intern itulah manusia sering kali melakukan tindakan yang absurd dan sia-sia di dalam kehidupannya. Sebagaimana penjara manusia Shariati, konsep penjara politik yang saya gunakan juga bekerjadengancarayangsama. Karena egoDPR, kepentingan politik biasanya akan lebih didahulukan di atas kepentingan rakyatyangdiwakilinya. Violla dengan sangatjernih menggambarkan penjara politik(egoDPR)yangsayamaksud itu. Dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law), DPR dimungkinkan merugikan kepentingan banyak kelompok masyarakat dan ini bertentangan dengan 27 putusan Mahkamah Konstitusi dan norma UUD 1945; RKUHP juga sama, ia dinilai tidak demokratis dan membatasi hak-hak konstitusional dan kebebasan masyarakat sipil; RUUPemasyarakatan pundemikian,sebabadaaturan yang meringankan hukuman narapidanakorupsidanterorismeyangsebetulnyamerupakan kejahatanluarbiasa.Sementara itu, RUU Minerba yang isinya memperpanjanghakpenguasaan lahan dan hutan yang dimiliki segelintir pengusaha akan merampas hak masyarakatlokal. SemuaRUUbermasalahitulah yang ingin disahkan oleh DPR di tengah mewabahnya virus korona di Tanah Air. Ego DPR yang seperti inilah yang saya sebut sebagai penjara politikDPR dan ini perlu untuk disikapi. TobatPolitik Untuk menyikapi DPRyang sudah telanjur menjebloskan egonya ke dalam penjara politik,sayamenyarankanseluruhanggota DPR untuk melakukan pertobatan politik.Caranyabisadilakukan dengan belajar dari pengalaman tobat seorang filosof postmodern terkemuka Friedrich Nietzsche. Sebagaimana dikisahkan dengansangatbaikolehShariati, filosof pembunuh Tuhan itu suatu hari pernah berjalan menyusuri suatu jalan di mana ia melihat seekor kuda yang berusaha keras untuk ke luardarisebuahparit,bernapas terengah-engahdibawahmuatanberatdarisebuahkeretayang terjungkirdiatasnya.Nietzsche mengamati si pemilik sedang berusaha memaksa kuda itu agar ke luar dari himpitan sehinggaiatidakakankehilangan muatankeretanya. Binatang itu sudah demikian terjerembab untuk bergerak,tetapi si pemilik yang tampaknya terlalu sayang pada muatankeretadaripadakeselamatan kudanya, mulai mengayunkan cemeti di atas punggung kuda secara keji.Kuda itu mulai bergerak sedikit ke luar dari parit tersebut, tetapi ia gagal dan terjatuh kembali ke dalam parit, salah satu kakinya patah dan kelihatan sangat payah. Marah menyaksikan pandangan yang mengerikan akibat brutalitas manusia tersebut,Nietzschepunmemberitahukansipemilikagarmenghentikan cambukannya terhadap kuda yang malang itu. Nietzschemenyarankanagarmuatan itu diambilterlebih dahulu, baru kemudian kuda itu ditolong ke luar dari parit. Tetapi, si pemiliktidakmenggubrisnasihat Nietzsche. Malahan ia terus menghujani cambukan dan mendorongkudatersebut. Hal ini lalu membuat marah sangfilosof sehingga iamelompatdanmemegang leherbajusi petani, sambil berkata: “Saya tidak akan membiarkanmu mencambuk binatang malang ini begitu kejam!” Akan tetapi, petani itu melepaskan diri dan memukul jatuh Nietzsche dan kemudian memukulnya lagi dengansangatkerassehinggaia meninggal beberapa hari kemudian. Filosof yang di masa mudanya begitu memuja kekuasaan dan kekuatan, sekarang berdiri melawan kekuasaan/kekuatan itu untuk menyelamatkan makhluk yang lemah danterinjak-injak. SikapNietzsche dengan mengorbankan diri itu dilakukan demi satu tujuan,yaknikemanusian. Mungkinsecara sekilas, kita bisamengatakantindakanNietzsche itu absurd. Tidak masuk akal. Karena pembelaan yang terlalu dilebihkan kepada binatang. Tetapi, apa yang dilakukan Nietzsche itu murni sebagaitindakan cinta terhadap makhlukhidup(binatang).Jika terhadap binatang saja Nietzsche bisa begitu sangat manusiawi, apalagi dengan sikapnya terhadap manusia yang tidak berdaya. Untuk alasan inilah, DPR yangsedangterpenjaraolehego politik semestinya becermin pada Nietzsche. Sebab, Nietzschetelahmengajarkanpentingnyamencintaikemanusiaan.Dengan mengikuti cermin Nietzsche, DPR pasti akan mengesampingkanego politiknya dan bertobatdenganmenghentikan pembahasanRUUkontroversial di tengah mewabahnya virus korona.DPRjugasebaiknyaikut serta membantu mencegah persebaran virus korona demi kemanusiaanitusendiri. Namun, jika DPR menolak melakukan tobat politik,tidak ada pilihan lain selain beramairamai ikut menandatangani petisi yang diajukan olehViolla di dalam change.org agar kita tidak ikut terjebak ke dalam penjarapolitikDPR.p Op selasa 14 april 2020 4 ini ulaiRabu (15/4), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan berlaku tak hanya sebatas di Jakarta. PSBBdiperluashinggawilayahsekitar Jakarta yang biasa disebut Bogor,Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).KhususTangerangRaya resmiberlaku Sabtu(18/4). Peluasan wilayah initentu menimbulkan konsekuensitersendiri, bahkan akan lebih kompleks ketimbang yang terjadi di Jakarta. Selain soal besarnya wilayah, objek PSBB di Banten dan Jawa Barat lebih banyak. Ini tentu membutuhkan pola pengawasan yang relatif beda ketimbang IbuKota. Toh demikian, kita juga patut lega karena kesadaran masyarakat untuk membantu ikhtiar pemerintah memutus mata rantai virus korona (Covid-19)inimakintumbuh.Dijalan-jalan misalnya, sopir angkot dan penumpang sudah makin terbiasa memakai masker. Pedagang dan pembeli memakai maskerjuga sudah lazim kita temui di pasar-pasartradisional. Minimarket dan toko-toko mulai memberlakukan aturan jarak (social distancing) dengan membatasi lewat talirafia, perisai plastik transparan, dansebagainya.Mereka juga tak lupamenyediakan tempat cuci tangan atau pembersih tangan (hand sanitizer). Sebagian pemilik toko, kafe, bahkan dengan inisiatif pribadi menutup sementara usahanya demi mengantisipasi agar virus initidakkiantersebar. Berat memang jika dilihat daririsiko keputusan-keputusan masyarakat itu. Apalagi di wilayah Jabodetabek, ada ribuan tempat usaha yang dengan kesadaran pribadi memilih tutup sementara seperti itu. Namun, pilihan-pilihan masyarakatitu rasional.Mereka rela berkurang pendapatannya, bahkanminus sementarawaktuketimbangkehilangannyawa. Ikhtiar-ikhtiarmasyarakatitumembuatkitasalut.Disisilain, kekagumanitumenjaditerkoyakmanakaladitengahupayakeras membasmi korona seperti lewat PSBB ini, pemerintah masih terus bertindak ambigu. Aturan terakhir, yakni Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18/2020 tentang PengendalianTransportasidalamRangkaPencegahanPersebaranCovid-19misalnya,kentaratumpangtindih. Permenhub yang antara lain membolehkan semua jenis transportasimasihbebasberoperasi,termasukojekonline (ojol) dengan membawa penumpang ini mementahkan peraturan sebelumnya, bahkan regulasi yang usianya belum genap sepekan.TerangsekalibahwaPermenhubitukontradiktifdenganisi Peraturan Menteri Kesehatan No 9/2020 tentang Ketentuan Penerapan PSBB. Bahkan Permenhub juga melanggar aturan yang lebih kuat di atasnya, yakniUndang-Undang (UU)Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta Peraturan PemerintahNomor21/2020tentangPSBB. Kenapa ini dipaksakan? Tentu pemerintah memiliki banyak dalih untuk merevisi aturan, seperti pertimbangan ekonomi, kondisi sosial, dan sebagainya. Sah pula sebuah aturan diubah melihatrealitas lapangan yang cepat berubah. Namun dari sini seolah pemerintah memperburuk citra diri. Pada kasus korona ini saja, sudah tak terhitung berapa pernyataan dan kebijakan pemerintahyangsalingsilangsengkaruttakkaruan.Pemerintah pun masih begitu percaya diri seolah enggan bercermin dan berbenah. Disisilain,rakyatyanghakikatnyabisajengahjustrumampu menunjukkansikapdewasadanmengalah.Merekamemahami situasi ini sangat sulit, pun bagi pemerintah. |
URI: | http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/104025 |
Appears in Collections: | LSP-Conference Proceeding |
Files in This Item:
File | Description | Size | Format | |
---|---|---|---|---|
FH-Prosiding_Adam Muhsi_Darurat Kesehatan dan Kepatuhan Masyarakat.pdf | 1.14 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.