Please use this identifier to cite or link to this item:
https://repository.unej.ac.id/xmlui/handle/123456789/101
Title: | IMPLIKASI KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN |
Authors: | ADHITA YUDHA ANANTA PUTRA |
Keywords: | SIPADAN DAN LIGITAN |
Issue Date: | 5-Jun-2013 |
Series/Report no.: | 060710101053; |
Abstract: | Hukum internasional sebagai bagian daripada ilmu pengetahuan hukum telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan khususnya ruang lingkup yang tercakup dalam pengertian tradisional subyeknya hanya dibatasi dengan negara sebagai satu-satunya. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut hal tersebut dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul yaitu : “IMPLIKASI KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN OLEH MALAYSIA BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL NOMOR 102 TANGGAL 17 DESEMBER TAHUN 2002”. Rumusan masalah yang hendak dibahas dalam skripsi ini adalah proses lepasnya pulau sipadan dan ligitan, upaya hukum Pemerintah Indonesia atas lepasnya pulau sipadan dan ligitan, kebijakan hukum yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menjaga pulau-pulau terluar Negara Republik Indonesia. Tujuan Penelitian skripsi ini terbagi atas tujuan umum dan tujuan khusus yang diharapkan tercapai dalam penulisan skripsi ini. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan masalah yang berupa pendekatan Undang-Undang (Statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta menggunakan analisis hukum dengan metode deduktif. Berdasarkan uraian dalam pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut ini : pertama, Negara Malaysia yang membuat peta sepihak ( unilateral ) pada tahun 1979 yang awalnya luas wilayah lautannya hanya sekitar 3 mil berubah menjadi 12 mil serta, pembangunan pengelolaan dan fasilitas wisata di kedua pulau itu serta Adanya mercusuar yang dibangun di Pulau Sipadan tahun 1962 dan di pulau Ligitan tahun 1963, yang sampai saat ini dipelihara oleh otoritas Malaysia dan Malaysia berpendapat bahwa pembangunan dan pemeliharaan mercusuar tersebut sebagai pelaksanaan otoritas Pemerintah Malaysia. Kedua, Upaya hukum Pemerintah Indonesia atas lepasnya pulau sipadan dan ligitan adalah sesuai dengan Pasal 34 Statuta Mahkamah Internasional yang berisikan “Hanya negara-negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara di muka Mahkamah”. Maka di buatlah perjanjian khusus ( Special Agreement ) antara Indonesia dengan Malaysia sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional ialah: “Yurisdiksi Pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yg ditetapkan dalam Piagam PBB yg dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional yang berlaku”. Indonesia dan Malaysia telah memenuhi syarat Pasal 43 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional yang isinya “Proses tertulis dalam persidangan harus dikomunikasikan oleh para pihak yang bersengketa kepada Mahkamah terlebih dahulu sebelum adanya peringatan (Memorial), kontra peringatan(CounterMemorial)hingga pada jawab-menjawab (Reply) dan juga membawa dokumentasi serta surat-surat bukti yang mendukung”. Indonesia dan Malaysia juga didampingi saksi ahli, advokat serta para ahli yang sesuai dengan Pasal 43 ayat 5 Statuta Mahkamah Internasional. Ketiga, Kebijakan hukum yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menjaga pulau-pulau terluar Negara Republik Indonesia adalah bersama-sama dengan Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri serta dengan Kementerian Luar Negeri harus bersatu dalam menjaga pulau-pulau terdepan Negara Indonesia dengan bekerjasama dengan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia dalam pengurusan pulau-pulau terluar Indonesia Adapun saran dari penulis yaitu, Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah seharusnya lebih displin lagi dalam hal merapikan bukti-bukti konkret baik itu berupa peta lama, dokumen-dokumen lama yang terkait pemilik sah suatu wilayah tertentu serta tidak lupa wilayah tersebut didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa lalu dibuatkan Undang-Undang tentang pembentukan suatu wilayah yang baru supaya ada kekuatan hukum tetap, Seharusnya bercermin pada masalah Sipadan dan Ligitan Pemerintah pusat melalui Departemen Luar Negeri dengan politik bebas aktif seharusnya melakukan pertemuan dalam satu kawasan misalnya ASEAN untuk meminta dukungan kepada negara-negara anggota untuk kasus penyelesaiannya, Pemerintah Indonesia jangalah terlalu terburu-buru dalam setiap menyelesaikan kasus sengketa melihat pada masa lalu seharusnya secepatnya perumusan AHC ( ASEAN High Council )supaya setiap kasus negara-negara ASEAN harus diselesaikan sendiri pada lingkup ASEAN dahulu bila benar- benar tidak bisa baru bersama-sama dibawa ke Mahkamah Internasional, Indonesia negara yang sangat luas dilakukan penjagaan jadi untuk pembelian Alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan)negara Indonesia sudah sangat ketertinggalan zaman bahkan ada alutsista sudah uzur, pembelian Alutsista baru harus memenuhi standar TNI bahkan TNI meminta para penjual senjata untuk melakukan transfer teknologi ( Transfer of Technology/ ToT )supaya bangsa Indonesia bisa lebih mandiri lagi dalam hal pembuatan Alutsista ini. Pemerintah pusat juga seharusnya meminta kepada Provinsi-Provinsi terkaya se Indonesia seharusnya membantu Pemerintah pusat dalam pengadaan Alutsista ini |
URI: | http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/101 |
Appears in Collections: | Hukum |
Files in This Item:
File | Description | Size | Format | |
---|---|---|---|---|
Adhita Yudha Ananta Putra - 060710101053_1_15.pdf | 164.67 kB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.