Show simple item record

dc.contributor.advisorSUHARTINI, Elly
dc.contributor.authorFAUZIYAH, Umi Nur
dc.date.accessioned2019-12-03T07:59:14Z
dc.date.available2019-12-03T07:59:14Z
dc.date.issued2019-07-03
dc.identifier.nimNIM150910302047
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id//handle/123456789/96577
dc.description.abstractTujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah untuk mengetahui apa yang membuat mahasiswi syar’i tersebut yakin dalam mengambil keputusan untuk menikah ketika masih berstatus sebagai mahasiswi aktif. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan konstruktivisme, sumbernya dari 4 informan mahasiswi yang menikah di usia muda, yaitu A, B, C dan D. Penggalian data dengan menggunakan penelitian observasi, wawancara secara mendalam, dokumentasi dan menggunakan cara-cara lain yang dapat menunjang jalannya penggalian data dalam penelitian. Hasil dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konstruksi pernikahan dibentuk melalui 3 proses, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Selain itu aktifitas religius memiliki pengaruh yang kuat untuk memutuskan menikah di usia muda sehingga hal tersebut dapat mengarah pada kehidupan asketisme yang dijalani oleh mahasiswi. Adanya asketisme dalam kehidupan yang dijalani oleh mahasiswi tersebut mampu memberikan perubahan dalam hidupnya yang terlihat begitu menonjol. Mahasiswi syar’i bukan berarti dipandang berbeda dengan mahasiswi pada umumnya, tetapi mahasiswi syar’i memiliki karakter tersendiri yang memang menarik perhatian untuk diteliti lebih dalam. Selain aktifitas religius juga terdapat sosial budaya yang pastinya turut meningkatkan angka pernikahan di usia muda. Tradisi bagi orangtua untuk menikahkan anak gadisnya di usia muda dikarenakan takut anaknya terjerumus pada dunia luar yang kelak hanya akan merugikan diri sendiri bahkan mencemarkan nama baik keluarga atau dalam artian untuk meminimalisir terjadinya perzinahan dan hal tersebut juga dilakukan untuk menghindari cibiran dari tetangga yang dimana pernikahan muda dianggap lebih baik daripada anak gadis pergi keluar rumah hanya dengan status berpacaran. Kepatuhan anak terhadap orangtuanya mau tidak mau akan menerima keputusan tersebut daripada disebut sebagai anak pembantah tetapi pernikahan tersebut dilakukan dengan pasangan yang telah dipilih sendiri bukan hasil dari perjodohan. Pernikahan muda yang dijalani mahasiswi ini juga berdasarkan syarat dari orangtua, yaitu harus tetap melanjutkan kuliah hingga mendapatkan gelar sebagaimana mestinya agar tidak mengecewakan orangtua yang telah membiayai skolah dari awal hingga memasuki perguruan tinggi. Mau tidak mau mahasiswi harus patuh dan rela menjalani peran ganda di usia muda ini. Kewajiban dan tanggung jawab yang harus diemban tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada suami karena sudah menikah, tetapi juga pada orangtua yang telah membesarkan dan yang paling utama kepada Tuhan agar selalu diberi perlindungan.en_US
dc.language.isoInden_US
dc.publisherFakultas Ilmu Sosial dan Politiken_US
dc.subjectKonstruksi Pernikahanen_US
dc.subjectAsketismeen_US
dc.subjectHijab Syar'ien_US
dc.titleKonstruksi Pernikahan Mahasiswi Berhijab Syar’i Di Universitas Jember : Analisis Terhadap Asketisme Sebagai Faktor Pendorongen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.prodiSosiologi
dc.identifier.kodeprodi0910302


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record