Show simple item record

dc.contributor.authorFitri Kamilia Firdausyi
dc.date.accessioned2014-01-28T18:41:44Z
dc.date.available2014-01-28T18:41:44Z
dc.date.issued2014-01-28
dc.identifier.nimNIM001510401085
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/26541
dc.description.abstractCabai merah segar termasuk dalam golongan enam besar dari komoditas sayuran yang diekspor Indonesia akhir-akhir ini, selain bawang merah, tomat, kentang, kubis, dan kol bunga (termasuk didalamnya brocoli) (Prajnanta, 2001). Cabai merah merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar 2000 spesies yang terdiri dari tumbuhan herba, semak dan tumbuhan kecil lainnya (Setiadi, 1999). Cabai merah dapat ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi, tergantung dari varietasnya. Tanah yang cocok untuk tanaman cabai merah adalah tanah yang gembur dan subur. Tanaman cabai merah akan mudah sekali terserang hama dan penyebab penyakit jika tempat penanamannya kurang cocok. Salah satu penyakit yang sangat merugikan adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici (Pracaya, 1994). Menurut Semangun (2000) antraknosa pada cabai besar tersebar luas di semua daerah penanaman cabai di seluruh dunia. Penyakit antraknosa sangat ditakuti karena dapat menghancurkan seluruh pertanaman. Pengamatan harus dilakukan setiap hari pada musim hujan. Cabai segar yang disimpan 1-2 hari sebelum dipasarkanpun dapat memperlihatkan gejala serangan penyebab penyakit ini karena antraknosa dapat terbawa, tumbuh, dan bertahan di dalam biji selama 9 bulan. Penyakit ini berkembang pesat sekali pada kondisi kelembaban relatif tinggi (>95%) pada suhu sekitar 32°C dan lingkungan pertanaman yang kurang bersih serta banyak terdapat genangan air (Prajnanta, 2001). Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak dari persemaian sampai tanaman cabai berbuah, dan merupakan masalah utama pada buah masak, serta berakibat serius terhadap penurunan hasil dan penyebaran penyakit (Syamsudin, 2003). Berdasarkan laporan (Balai Penelitian Hortikultura Lembang 1993 dalam Syamsudin 2003), kehilangan hasil pada pertanaman cabai akibat serangan antraknosa dapat mencapai 50-100% pada saat musim hujan. Pengendalian penyakit pada umumnya masih menggunakan fungisida, karena masih dianggap dapat mengendalikan penyakit secara cepat dan praktis, meskipun kesadaran dari pengguna akan dampak negatif dari zat kimia cukup tinggi disamping biaya yang dikeluarkan dalam penggunaan fungisida yang sangat mahal. Menurut Syamsudin (2003) upaya pengendalian penyakit antraknosa hingga saat ini masih menggunakan pestisida sintetik sebagai pilihan utama karena dianggap dapat mengendalikan penyakit secara cepat dan praktis. Namun demikian mengingat dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh pemakaian pestisida sintetik, maka saat ini telah dikembangkan perlindungan secara biologi karena dianggap sebagai teknik yang memperhatikan dan menjaga keseimbangan lingkungan. Pengendalian hayati penyakit tanaman didefinisikan sebagai penekanan jumlah inokulum atau aktivitas patogen dengan menggunakan satu atau lebih mikroorganisme (Cook dan Barker, 1983). Salah satu mikrobia antagonis yang dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit antraknosa adalah Bacillus subtilis (Susanti, 2004). Menurut Damordjati (1993) B. subtilis merupakan mikrobia yang memiliki sifat antagonis dan memiliki kisaran aktivitas yang sangat luas. Keunggulan B. subtilis dibanding dengan bakteri lain adalah kemampuannya menghasilkan endospora yang tahan terhadap panas atau dingin, juga terhadap pH yang ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan. B. subtilis merupakan salah satu genus yang sangat penting untuk pengendalian hayati pada permukaan daun disamping untuk penyakit pada perakaran maupun penyakit pasca panen. Bakteri ini sangat berpotensi karena mudah diformulasikan dan relatif dapat mengkolonisasi berbagai spesies tanaman (Bacman, et al.,1997). Keberadaan nutrisi dilapangan terutama pada permukaan buah tidak sebanyak dalam tanah yang merupakan habitat dari B. Subtilis yang dapat mendukung aktivitas B. subtilis. Apabila antagonis sudah cocok pada habitatnya tetapi belum berfungsi untuk mengendalikan patogen maka perlu perlakuan yang dapat meningkatakan kemampuan anatagonisnya (Cook dan Barker, 1983). Untuk meningkatkan aktivitas antibiotik B. subtilis dalam mengendalikan patogen diatas permukaan buah diperlukan suatu nutrisi. Pada keadaan yang demikian maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan nutrisi berupa tepung terhadap efektifitas B. subtilis dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai merah yang disebabkan oleh jamur C. capsici.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries001510401085;
dc.subjectPERAN BAKTERI Bacillus subtilis, ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici), CABAI MERAH, TEPUNGen_US
dc.titlePENINGKATAN PERAN BAKTERI Bacillus subtilis UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici) PADA CABAI MERAH DENGAN PENAMBAHAN TEPUNGen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record