Show simple item record

dc.contributor.authorEDY MULYONO
dc.date.accessioned2013-12-02T10:53:06Z
dc.date.available2013-12-02T10:53:06Z
dc.date.issued2013-12-02
dc.identifier.nimNIM030110301031
dc.identifier.urihttp://repository.unej.ac.id/handle/123456789/2507
dc.description.abstractProses integrasi masyarakat etnis Tionghoa keturunan di Bondowoso dalam kehidupan bersama dengan masyarakat Madura sedikit banyak membawa implikasi terhadap kehidupan masyarakat baik bagi masyarakat etnis Tonghoa keturunan sendiri maupun masyarakat Madura. Dampak yang nyata akibat integrasi masyarakat etnis Tionghoa keturunan dengan masyarakat Madura adalah adanya asimilasi budaya (akulturasi), dan asimilasi perkawinan. Ada banyak hal yang membentuk asimilasi seperti, perilaku ekonomi, pendidikan, dan pergaulan. Ketiga hal tersebut dapat membentuk asimilasi karena dapat mengarahkan etnis Tionghoa keturunan untuk melakukan interaksi secara langsung dengan masyarakat lokal. Mereka dapat saling bertukar pikiran dalam banyak hal baik menyangkut kehidupan sehari-hari, menurut sudut pandang masingmasing etnis maupun kebiasaan atau budaya mereka, sehingga dari sini akan terjadi saling memahami diantara etnis berbeda. Hal ini akan membuka wawasan bagi mereka, terutama bagi etnis Tionghoa yang memiliki eksklusifisme dan etnosentrisme yang tinggi. Perubahan pola kebudayaan etnis Tionghoa keturunan tidak hanya terjadi pada perubahan pemakaian bahasa lokal dalam komunikasi sehari-hari, tetapi terjadi juga dalam hal dalam keyakinan agama. Banyak di antara etnis Tionghoa keturunan di dua desa memeluk agama Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat lokal. Agama Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas pribumi di Kabupaten Bondowoso dapat berfungsi sebagai faktor pendorong bagi terciptanya asimilasi muslim Tionghoa terhadap pribumi, yang dibuktikan oleh berbagai aspek tingkahlaku kemasyarakatan seperti; minoritas muslim Tionghoa diterima baik oleh pribumi. Bahkan etnis Tionghoa yang beragama islam semakin meningkat sekitar 57,1 persen di daerah blindungan dan didaerah Debesah mencapai 78,3 persen. Dalam perubahan agama ini orang Tionghoa keturunan masuk dalam jajaran elit keagamaan, yaitu menjadi kiai. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bab 3, salah satu etnis Tionghoa yang dianggap masyarakat lokal sebagai da’i (penceramah agama) adalah H. Oentono. Dengan posisinya sebagai elit agama secara otomatis mempengaruhi perubahan pola kebudayaan etnis Tionghoa keturunan di Bondowoso. Perubahan pola kebudayaan etnis Tionghoa keturunan di Bondowoso didukung juga oleh keberadaan tempat tinggal etnis Tionghoa keturunan yang menyebar dan berdampingan dengan penduduk lokal. Hasil temuan di lapangan diperoleh, tidak ada wilayah yang khusus yang ditempati oleh etnis Tionghoa keturunan. Dengan kata lain di Kecamatan Bondowoso tidak ditemukan adanya kampung pecinanan yang biasanya menjadi tempat khusus bagi etnis Tionghoa keturunan bertempat tinggal. Kondisi tersebut berdampak pada hubungan yang harmonis di antara penduduk lokal dengan etnis Tionghoa keturunan. Dampak adanya asimilasi ini adalah terhindarnya Kabupaten Bondowoso dari kerusuhan rasial di daerah-daerah yang meningkat pada tahun 1998. Kehidupan etnis Tionghoa di Kecamatan Bondowoso tetap aman dan tenteram. Pada tahun 1998 sampai tahun 2003 asimilasi etnis Tionghoa keturunan di Bondowoso semakin meningkat, serta di ikuti dengan adanya kawin campur (amalgamasi) yang mencapai 83,2 persen penduduk etnis Tionghoa keturunan yang melakukan kawin campur dengan penduduk mayoritas yakni masyarakat Madura dan Jawa, sehingga terjalin hubungan yang harmonisen_US
dc.language.isootheren_US
dc.relation.ispartofseries030110301031;
dc.subjectASIMILASI, ETNIS TIONGHOA KETURUNAN, MASYARAKAT MADURAen_US
dc.titleASIMILASI ETNIS TIONGHOA KETURUNANen_US
dc.typeOtheren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record